Sabtu, 19 November 2016

PENISTAAN AGAMA BUDDHA

Hingga menjelang tutup tahun 2016 beberapa hari lagi, berbagai peristiwa telah kita saksikan bersama. Diantaranya ada yang biasa-biasa saja alias rutin, misalnya ada tokoh politik mengeluarkan pernyataan yang dinilai menghasut dan ketika apa yang dikatakan itu benar-benar terjadi, pihak yang bersangkutan seketika membantahnya sebagai inspirator. Selain itu ada juga yang menggemparkan antara lain misalnya peristiwa pembakaran vihara di Tanjung Balai Sumatera Utara, perilaku orang  yang mengaku mampu menggandakan uang, dan ucapan Ahok di Kepulauan Seribu yang mengundang demonstrasi dan protes besar-besaran di Jakarta.
       Beberapa dari peristiwa tersebut dikatakan sangat kental dengan nuansa penghinaan. Membicarakan  perihal penistaan atau penghinaan, maka kuranglah bijaksana apabila tidak memahami apa itu penghinaan. Apa yang dilakukan oleh orang-orang sehingga yang bersangkutan dituduh melakukan penghinaan. Apa akibatnya sehingga subyek yang menjadi sasaran penghinaan sampai harus menggalang masa dari seluruh penjuru, mendesak-desak aparat agar yang melakukan penghinaan itu segera dijadikan tersangka dan dijatuhi hukuman yang seberat-beratnya, bahkan ada yang minta supaya pelakunya dihukum mati.  
       Perihal yang terakhir ini pernah dialami oleh orang yang bernama "Salman Rushdie", seorang keturunan Pakistan yang  berkewarganegaraan Inggris. Pada 1988 Salman melalui bukunya yang berjudul "The Satanic Verses" telah membuat umat Islam di seluruh dunia marah besar dan berinisiatif  menghukum mati. Umat di negara-negara Islam berupaya keras untuk mewujudkan keinginan tersebut. Akan tetapi tidak ada satu pun yang berhasil, karena dalam hal ini pemerintah Inggris juga mengerahkan segenap kemampuan dan fasilitas yang dimilikinya  untuk "melindungi" warga negaranya.
       Untuk memahami istilah penghinaan atau penistaan harus ada acuannya dan untuk ini dipergunakan Pasal 156 dan 156 a Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) sebagai acuan. Pasal 156 barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Perkataan golongan dalam pasal ini dan pasal berikutnya berarti tiap-tiap bagian dari rakyat Indonesia yang berbeda dengan suatu atau beberapa hagian lainnya karena ras, negeri asal, agama, tempat, asal, keturunan, kebangsaan atau kedudukan menurut hukum tata negara. Sementara itu Pasal 156a
Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan:
a. yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia;
b. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apa pun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.
      Berdasarkan penelusuran terhadap ketentuan pasal tersebut dapatlah dipahamkan bahwa inti dari penghinaan itu adalah   pernyataan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan, dan penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama. Jadi yang dinamakan dengan penghinaan itu di dalamnya terkandung  3 unsur yaitu;  permusuhan, kebencian dan penyalahgunaan. Namun demikian apabila dipadatkan lagi ternyata unsurnya bukan 3 tetapi 2 yakni; kebencian dan penyalahgunaan. Apabila dikaitkan dengan Ajaran Buddha, maka kebencian itu adalah "dosa" dan penyalahgunaan atau penodaan bersumber dari "moha" atau kebodohan.
       jika demikian halnya maka dapat dikemukakan bahwa tidak sedikit  orang  berpotensi untuk melakukan penghinaan, baik terhadap agama orang lain maupun terhadap agama sendiri.  Karena tidak sedikit juga orang sesugguhnya memiliki potensi kebencian. Oleh karena juga kebencian merupakan perasaan dan apabila perasaan itu dinyatakan atau diungkapkan, maka jadilah penghinaan. Oleh karena  itu jangan marah dan jangan benci apabila merasa memperoleh penghinaan, terlebih-lebih lagi apabila didalam menyatakan protes atau ketidakpuasan terhapap penghinaan itu dibarengi dengan kerusuhan dan atau penjarahan. Apabila itu yang memang terjadi, maka sesungguhnya yang bersangkutan berarti sedang menistakan agamanya sendiri.
      Dengan pola seperti itu dapatlah dikatakan bahwa Agama Buddha setiap hari menerima penghinaan baik yang dilakukan oleh orang atau umat lain maupun oleh umat Buddha sendiri. Contohnya, ada vihara yang dibakar, ada arca Buddha yang dinaiki bagian kepalanya. Yang paling serius tetapi tidak disadari adalah pembuatan arca yang tangannya bersikap anjali, selain juga  ada arca Buddha yang dikontrakkan. Di samping itu ada juga yang tidak disadari, yaitu penempatan arca Buddha yang tidak pada tempatnya, misalnya di pinggir kolam renang, atau diajak ikut berjualan terutama oleh umat Buddha sendiri.
       Dari fenomena seperti itu timbulah persoalan;  Apa yg harus dilakukan apabila agama Buddha dihina atau dinistakan. Jawaban atas persoalan tersebut  pada intinya dapat diberikan  baik berdasarkan perspektif hukum negara maupun Buddhist.Kedua perspektif tersebut sesungguhnya memiliki pandangan yang sama; keduanya memandang bahwa perbuatan menghina atau menista itu merupakan perbuatan yang tidak baik dan tidak benar, terlebih-lebih lagi kalau karena penghinaan sampai menimbulkan korban, dan setiap penghinaan pasti menimbulkan korban; paling tidak korban perasaan.
       Apabila penghinaan itu ditangani berdasarkan Hukum Negara, maka Kepolisian tidak akan segera bertindak, melainkan setelah adanya "pengaduan" dari pihak yang dirugikan. Karena penghinaan menurut hukum itu termasuk "delik aduan" atau tindak pidana aduan". Apabila hanya didasarkan "laporan" saja maka ini tidaklah cukup untuk membawa kasus penghinaan itu ke tingkat "penuntutan" apalagi ke pengadilan. Sementara itu pada pihak yang dirugikan masih terdapat anggapan bahwa penegak hukum otomatis akan bekerja sehingga tidak perlu mengadu. Ini merupakan pemahaman hukum yang keliru.
       Apabila penghinaan itu diselesaikan menurut perspektif Buddhis, maka ada suatu respon yang sangat menarik yang perlu dicermati. Ketika umat dari suatu agama ribut gara-gara kitab sucinya dicemplungkan ke dalam lubang WC, sejumlah wartawan bertanya kepada  Ajahn Bram, seorang bhikkhu. Tanpa prasangka negatif terhadap para wartawan, apakah mereka bermaksud memprovokasi ataukah mengadu domba, yang pertanyaannya seperti ini ; apa yang akan anda lakukan apabila kitab suci agama Buddha  dicemplungkan ke lubang WC ?
      Sejurus kemudian kerumunan orang yang hadir di tempat itu menantikan bagaimana kira-kira jawaban yang akan diberikan, akan tetapi tanpa diduga sebelumnya, ternyata Ajahn Bram menjawab begini : "yang dilakukan bukanlah mengumpulkan umat, memberikan doktrin-doktrin kepada mereka, dan bukan juga meminta untuk mencari kemana pun juga orang yang telah mencemplungkan kitab suci ke WC, Alkabes tetapi pertama-tama saya akan memanggil tukang sedot WC untuk menormalkan kembali fungsi saluran WC, karena kalau dibiarkan terus seperti itu tentunya WC tidak dapat digunakan.
       Setelah memberi jawaban yang "nyleneh", Bhante Ajahn menjawab secara serius, bahwa dalam penghinaan terhadap keyakinan tidak sama pengertiannya dengan merobek, menginjak, membakar atau mencemplungkan buku ke WC. Ajaran Buddha terdapat dalam keyakinan. Buku hanya merupakan media tempat ajaran itu berada untuk sementara dan akan terserap dalam Keyakinan. Oleh karena itu dibagaimanakan pun juga buku-buku agama Buddha, dibakar seperti yang dilakukan terhadap buku-buku Budhhis di Universitas Nalanda, keyakinan terhadap Triratna tetap ada.
       Agama Buddha tidak mengajarkan apabila terdapat penghinaan maka umat harus harus menuntut si penghina sekalipun ia berada di dalam gedung batu. Dalam Brahmajala Sutta 5 dinyatakan :   “Para Bhikkhu, bilamana orang mengucapkan kata-kata yang merendahkan Buddha,  Dhamma dan Sangha, janganlah karena hal itu kamu membenci, dendam atau memusuhinya. Bilamana karena hal tersebut kalian marah atau merasa tersinggung, maka hal itu akan menghalangi jalan pembebasan diri....
....bilamana ada orang mengucapkan kata-kata yang merendahkan saya, Dhamma dan Sangha, maka kalian harus menyatakan mana yang salah dan menunjukkan kesalahannya dengan mengatakan bahwa berdasarkan hal ini atau itu, ini tidak benar, atau itu bukan begitu.......
       Menanggulangi penghinaan yang dilakukan oleh orang lain itu lebih mudah daripada mencegah agar diri kita sendiri tidak melakukan penghinaan terhadap orang lain. Jadi dalam menghadapi penghinaan dan atau mencegah penghinaan, seorang Buddhis itu lebih banyak dituntut untuk DIAM .... bukan karena diam itu adalah emas yang harganya naik setiap hari dan dicari-cari banyak orang hingga sampai kehilangan nyawa karena tertimbun dalam tambang, tetapi diam yang dimaksud itu adalah BERDIAM DALAM BRAHMA yang terdiri dari metta, karuna, mudita dan upheka.
      Empat keadaan batin ini disebut kediaman (vihara) sebab keempatnya semestinya menjadi tempat tinggal yang tetap bagi batin, seperti yang kita rasakan ”di rumah”; empat keadaan batin ini janganlah hanya menjadi tempat yang jarang ataupun hanya sebentar dikunjungi, yang segera dilupakan. Dengan kata lain, batin kita harus melebur sepenuhnya dalam keadaan luhur ini. Empat keadaan luhur ini seharusnya menjadi sahabat kita yang tak terpisahkan, dan kita harus sadar terhadapnya dalam semua aktivitas sehari-hari. Sebagaimana ungkapan dari Metta Sutta, Syair Cinta Kasih:
Ketika berdiri, berjalan, duduk, berbaring,
Selagi tiada lelap
Ia tekun mengembangkan kesadaran ini –Yang dikatakan: Berdiam dalam Brahma
Ke-empat keadaan ini –cinta kasih, welas asih, turut berbahagia, dan ke- seimbangan batin– dikenal juga sebagai keadaan tanpa batas (appamañña), karena, dalam kesempurnaan dan sifat sejatinya, keempatnya tidak dapat disempitkan oleh batasan-batasan dalam hal jangkauannya terhadap semua makhluk. Keempat keadaan batin ini haruslah tidak eksklusif dan tidak hanya mencakup sebagian dari makhluk; tidak dibatasi oleh keberpihakan maupun prasangka-prasangka. Batin yang telah mencapai Brahma-vihara yang tak ter- batas ini tidak akan menyimpan kebencian terhadap bangsa, suku, agama maupun kelas/golongan manapun.
       Untuk menyempurnakan            Brahmavihara, jangan lupa untuk tidak berperilaku provokatif yang dapat mendorong orang lain berbuat yang tidak baik. Setiap orang akan terhindar dari tindakan-tindakan yang bersifat merendahkan apabila ia sendiri mulai merendahkan diri, dan jikalau tidak ingin direndahkan sama sekali, jangan tanggung-tanggung merendahlah sampai tidak dapat direndahkan lagi. (sudarma sumadi)