Selasa, 10 Oktober 2017

MENGAPA DI TANAHKU TERJADI BENCANA

MENGAPA DI TANAHKU TERJADI BENCANA ?
Secara hampir bersamaan dengan hari-hari saat umat Buddha melaksanakan salah satu ajaran dhamma yaitu berdana kepada Bhikkhu Sangha pada Kathina tahun ini, kegiatan Gunung Agung di Bali meningkat hingga mencapai status awas. Artinya, bencana gempa, letusan gunung yang memuntahkan material, aliran lahar panas dan dingin akan terjadi sewaktu-waktu. Setiap terjadi bencana, sekerap itu pula timbul pertanyaan mengapa di tanahku terjadi bencana ?. Dengan segala kerendahan hati, berikut ini diketengahkan sebuah tulisan dari perspektif  Buddhisme yang dikutip dari websitenya Vihara Samagiphala.

ANATOMI BENCANA
Oleh Ven. Dr K Sri Dhammananda Maha Nayaka Thera,
The Buddhist Channel, Februari 24, 2005
Kuala Lumpur, Malaysia – Tragedi tsunami Asia yang menimpa negara-negara perbatasan Lautan India Desember tahun lalu telah menunjukkan kekuatan alam yang dahsyat. Banyak orang mempertanyakan penyebab bencana tersebut, apakah bencana itu sebagai tanda “ketidaksenangan Tuhan” untuk menghukum manusia atas semua perbuatan salahnya di bumi.
Sebelum kita membuat asumsi-asumsi bahwa beberapa kekuatan luar adalah penyebab dari kehancuran besar yang sedemikian rupa, kita harus belajar memahami sifat sebenarnya dari kehidupan, terutama tentang keberadaan manusia.
Kata “manusia” berasal dari kata Sansekerta “manussa” yang berarti “makhluk manusia”. Asal mula kata “manussa” adalah “mana” atau batin. Dari semua alam kehidupan yang berbeda, manusia adalah satu-satunya makhluk yang mempunyai kesempatan menjadi seorang Buddha. Mereka mempunyai kesempatan ini karena manusia mempunyai kecerdasan dan kebijaksanaan untuk mempertanyakan keberadaan mereka, bagaimana dan mengapa mereka dilahirkan di dunia ini dan tentang makna kehidupan itu sendiri.
Dengan memakai kecerdasan inilah, manusia dapat mengembangkan pengetahuan tentang sifat kehidupan, tentang apa yang membentuk sebagai kehidupan manusia dan sifat makhluk itu sendiri. Melalui penyelidikan demikianlah, Sang Buddha mengajarkan kita bahwa keberadaan semua makhluk hidup dan alam semesta karena gabungan dari elemen dan energi.
Elemen-elemen ini – tanah, angin, air dan api diatur oleh hukum alam yang bekerja melalui putaran yang tak ada hentinya dari kelahiran, tumbuh, hancur dan lenyap. Obyek-obyek alam yang hidup dan tidak hidup ini terjadi berdasarkan kondisi dan timbulnya peristiwa-peristiwa mental serta fisik yang diatur oleh hukum-hukum alam (dhamma niyama).
Sang Buddha menerangkan tentang lima hukum alam, salah satunya adalah hukum energi (utu niyama). Energi, dalam dua bentuk panas dan dingin, menyebabkan banyak perubahan di dalam tubuh dan lingkungan. Mereka selalu mengalami perubahan yang terus menerus, dan selalu mencari suatu keseimbangan. Hukum ini yang mengatur perubahan-perubahan di tubuh, seperti umur tua dan penyakit, atau dalam konteks ekologis berkenaan dengan hal-hal seperti cuaca, musim dan pergerakan-pergerakan bumi.
Sang Buddha telah menerangkan dengan sangat jelas bahwa hukum ini tidak hanya bekerja sebatas di dunia fisik ini, tetapi juga di seluruh alam semesta. Hukum ini mempengaruhi setiap sistim planet yang ada dan semua bentuk alam metafisika, apakah itu benda atau tidak berupa benda. Semua elemen ini dapat berubah, dari waktu ke waktu mengalami ketidakseimbangan.
Demikan juga kehidupan, manusia dan bumi dituntun oleh hukum-hukum alam. Mereka hancur, lenyap dan dilahirkan berulang-ulang, ditentukan oleh perputaran yang tak ada hentinya. Dari waktu ke waktu terjadi bencana karena elemen-elemen dasar seperti air, tanah, angin dan api selalu dalam perubahan dan perlu mencari suatu keseimbangan. Inilah sebabnya mengapa Sang Buddha berkata bahwa hidup adalah dukkha, karena manusia juga mengalami perubahan demikian. Tanpa memandang status atau jenis binatang, karena perubahan alam yang terus menerus inilah, setiap makhluk hidup mengalami dukkha.
“Bencana tsunami Asia
adalah akibat ketertundukan Hukum Kamma pada hukum alam”
Buddha Dhamma mengajarkan bahwa kita adalah perancang nasib kita sendiri dan sebagai manusia, kita akhirnya dapat mengendalikan kekuatan yang berhubungan dengan kamma kita sendiri, umat Buddha tidak percaya bahwa semua hal berhubungan dengan kamma. Mereka tidak mengabaikan peran yang dimainkan oleh kekuatan-kekuatan alam lainnya. Seperti yang dapat dilihat, kamma hanya merupakan satu aspek dari hukum alam. Maka dugaan sederhana bahwa semua pengalaman hidup disebabkan oleh kamma adalah tidak benar.
Pemahaman elemen-elemen pokok yang berbeda dalam fisik dan alam-alam fisik ini membantu kita mendapatkan suatu pengertian yang lebih jelas tentang bagaimana satu kejadian dapat dihasilkan lebih dari satu sebab dan bagaimana faktor-faktor penentu yang berbeda dapat dengan serentak terlibat dalam mengkondisikan fenomena serta pengalaman-pengalaman tertentu. Biasanya, saat lebih dari satu dasar sedang bekerja, dasar yang lebih dominan akan menang.
Misalnya, temperatur yang ekstrim (utuniyama) dapat mempengaruhi kondisi batin (cittaniyama) dan menyebabkan seseorang merasa sakit. Atau semangat kuat (cittaniyama) sementara waktu dapat melebihi pengaruh lingkungan yang negatif (utuniyama) dan akibat kamma (kammaniyama). Dalam kasus bencana alam, energi yang berhubungan dengan karma menjadi tidak aktif karena kekuatan dari pergerakan tanah dan air yang terlalu kuat, seperti gempa bumi dan tsunami. Akibat bencana tsunami Asia yang tiba-tiba terjadi adalah sebuah demonstrasi penting tentang ketertundukan Hukum Kamma pada hukum alam (utuniyama).
Ombak yang menghancurkan dan mengambil ratusan dari ribuan makhluk hidup bekerja tanpa memandang jasa-jasa kebaikan para korban. Mereka yang mempunyai kamma baik dan buruk sama-sama menderita. Tidak seorangpun, dan tidak ada, yang dapat lolos dari energi yang menyatakan perubahan sebagai sesuatu yang tetap. Fondasi Buddhisme berdasarkan dari penerimaan kebenaran universal ini. Pemahaman mendalam atas pengetahuan tersebut akan membuat seseorang menerima dengan tenang apa yang tidak dapat dirubah, dengan demikian membuat seseorang mengalihkan energi positif mereka pada hal-hal yang positif dan spiritual.
Adalah perlu bagi manusia untuk memelihara belas kasihan dan kebaikan sebagai alat untuk belajar hidup dengan perubahan yang terus menerus. Hidup tenang tidak berarti menundukkan alam. Hal itu membuat seseorang mempunyai pengertian dan pengetahuan mendalam atas kekuatannya. Dan ini adalah alasan tepat mengapa tidak masuk akal menyalahkan kekuatan-kekuatan luar (seperti Tuhan) atas malapetaka besar yang disebabkan oleh tsunami yang menghancurkan tersebut. Tidak dapat menyalahkan siapapun dan apapun.
Tidak perlu menjelaskan secara masuk akal tindakan Tuhan karena bencana tsunami dengan jelas menunjukkan perubahan dari elemen-elemen tanah. Hal itu benar-benar membuka mata kita pada keadaan alam, keadaan sesaat mereka, dan ketidakakuan mereka. Inilah alasan kita untuk tidak mengembangkan keinginan membuta terhadap hal-hal duniawi. Kemelekatan terhadap jasmani kita sendiri dan lingkungan tentunya akan menuntun kita menuju penderitaan yang lebih banyak karena kelahiran kembali di masa depan membuat kita mengalami kekuatan hukum alam yang tak dapat diramalkan. Kita bahkan dapat memakai ini sebagai pelajaran untuk pencarian keselamatan, yaitu berjuang untuk dilahirkan kembali di “suatu tempat yang sesuai” (patirupadesavaso, dari Manggala Sutta, Khotbah tentang Berkah), bebas dari penderitaan yang disebabkan oleh hukum alam yang seperti itu.
Bencana juga merupakan sebuah peringatan yang tepat bagi kita untuk memeriksa kembali bagaimana kita hidup, dan untuk menilai kembali hubungan kita dengan alam. Hukum Sebab Akibat (paticca samuppada) memberikan penjelasan tentang timbulnya batin dan badan dalam suatu ikatan yang saling mempengaruhi dan bergantungan. Apa yang kita pikirkan, ucapkan atau lakukan mempunyai pengaruh jauh di luar keberadaan jasmani kita. Jika kita meracuni tanah, pengaruhnya akan kembali menghantui kita melalui air-air yang terpolusi. Jika kita mengambil sikap yang selalu ingin menundukkan alam, berpikiran bahwa kecerdasan kita adalah yang paling tinggi, maka kita harus siap menghadapi akibat dari kemarahannya.
Bencana adalah merupakan sebuah peringatan bagi kita untuk bergabung kembali pada kebenaran tentang sikap yang tidak ekstrim. Hal ini adalah tepat terutama di jaman-jaman sekarang saat pengembangan yang berlebihan telah menyebabkan ketidakseimbangan ekologis yang besar. Berbagai studi telah menunjukkan bahwa jika batu karang di tepi pantai Sri Lanka tetap utuh, batu karang tersebut akan memainkan peran sebagai penahan guna mengurangi pengaruh dari ombak yang menghantam tepian pantai. Di sepanjang pantai India, keberadaan rawa-rawa pohon Bakau dengan jelas menunjukkan bahwa kreasi alam dapat membantu mencegah malapetaka yang lebih besar.
Hidup dengan sikap yang tidak ekstrim di masyarakat masa kini tidak berarti menyerah pada kemiskinan. Hal ini berarti mempunyai kemampuan dan kewaspadaan untuk hidup dalam harmoni dengan alam di sekitarnya. Hal ini berarti tidak merusak alam dan menciptakan lingkungan buatan manusia agar memuaskan indera-indera kita. Hidup dalam sikap tidak ekstrim berarti mendorong untuk mempunyai belas kasihan terhadap satu sama lain, sehingga nilai-nilai manusia melebihi keinginan material.
Sementara dunia berduka atas para korban bencana, mari kita pelihara belas kasihan dan melimpahkan jasa-jasa kepada mereka yang telah meninggal. Kita dapat melakukan ini dengan berbagai cara. Satu, kita mendapatkan jasa saat kita membantu usaha-usaha pertolongan sehingga kita dapat menyediakan bantuan langsung kepada mereka yang menderita. Dua, kita memancarkan energi mental yang positif kepada mereka yang telah meninggal sehingga mereka dapat terlahir kembali di alam yang lebih baik. Tiga, mari kita juga memancarkan pikiran cinta kasih kepada para pekerja penolong yang saat ini bekerja sebaik-baiknya untuk menolong para korban.
Semoga kita semua belajar menjadi sadar dan lebih sensitif pada hasil-hasil kerja yang telah kita lakukan untuk diri kita sendiri dan alam sehingga kita dapat hidup harmonis di antara kita sendiri, bersama alam dan alam semesta.
———————-
Dr Sri Dhammananda Maha Nayaka Thera adalah ketua Sangha Malaysia dan Singapura. Artikel ini adalah rekaman dari pembicaraan yang dibawakan di “Dharma Assembly of Blessings for Tsunami Victims” (Perkumpulan Dharma untuk Pemberkahan bagi para korban Tsunami) Stadium Negara, Kuala Lumpur, Malaysia pada tanggal 15 Januari 2005.
Sumber : The Anatomy of Disaster
Diterjemahkan oleh : Jenny H., Surabaya
Editor : Bhikkhu Uttamo