Sabtu, 06 Agustus 2016

MENCEGAH TERORISME a la AGAMA BUDDHA

Tulisan sederhana ini merupakan sebagian kutipan dari makalah yang berjudul "Pencegahan Terorisme; Perspektif Hukum Buddhis", yang telah disampaikan dalam rangka Diseminasi Pencegahan Terorisme Dari Berbagai Sudut Pandang. Diseminasi diselenggarakan oleh Program Doktor (S3) Ilmu Hukum UNUD pada 03 Agustus 2016.


DASAR MORAL HUKUM BUDDHIS PENCEGAHAN TERORISME
Terorisme dalam diskusi ini merupakan suatu obyek dalam pengertian siapa pun dan dikaitkan dengan variabel apa pun, semua pembicaraan harus mengarah untuk tercegahnya tindakan yang disebut dengan terorisme. Oleh karena itu pekerjaan terpenting pertama yang harus dilakukan adalah menemukan pengertian mengenai terorisme agar sasaran dari upaya prevensi menjadi jelas. Namun demikian mendefinisikan terorisme yang dapat diterima luas oleh semua kalangan tidaklah mudah lantaran konsep tersebut mengandung dwimakna (ambiguous) atau berarti ganda – ambigu.
Dikatakan berdwimakna karena pada satu sisi sehubungan dengan dampak destruktif yang ditimbulkannya baik yang menimpa harta benda, maupun jiwa dan kemanusiaan, terorisme itu dikutuk, diburu dan diberantas dengan mengerahkan segala sumber yang tersedia, akan tetapi pada sisi lain terorisme juga seakan-akan meledek berbagai upaya cegah-berantas yang telah dilakukan oleh otoritas keamanan dengan cara hampir selalu berhasil muncul kembali pada tempat dan kemasan yang baru sembari tetap mempertahankan spiritnya yang lama.
Prof. Dr.Arvind Kumar Singh mengungkapkan kondisi tersebut dengan kalimat....that one’s terrorist is another’s ‘freedom fighter’. For example, those, who are Palestinians ‘freedom fighters’, are for Israelis ‘terrorists’ to be killed and exterminated. So also in Kashmir, those who are ‘terrorists’ for India are glorified as ‘freedom fighters’ by Pakistan. Sudah tentu perbedaan cara pandang tersebut berlatar belakang pada perbedaan kepentingan antara yang menekankan keamanan dan kemanusiaan dengan yang ingin mengambil keuntungan di tengah-tengah ketakutan massa.
Perbedaan yang tajam tersebut pada akhirnya menimbulkan pengaruh yang tidak menguntungkan berkenaan dengan upaya merumuskan definisi terorisme. Bahkan masih menurut Arvin Kumar Singh mendefinisikan terorisme itu sesungguhkan merupakan tugas yang membahayakan (hazardous task), sehingga Tak kurang Majelis Umum (General Assembly) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tempat berkumpul dan bekerjanya para delegasi dari berbagai negara itu sendiri sampai saat ini belum berhasil menemukan definisi terorisme yang dapat diterima secara luas oleh semua kalangan.
Kevakuman definisi untuk sementara waktu ini menimbulkan situasi keilmuan yang rada aneh, dimana konsep (terorisme) yang nantinya menjadi definiendum (obyek yang didefinisikan) itu berhasil diketemukan, akan tetapi sangat boleh jadi karena ketakutan yang begitu mendalam, lantas tidak berani memberikan definisi. Namun demikian belasan tahun sebelum Presiden Joko Widodo menyerukan “Kami Tidak Takut” terkait ledakan bom di Jl. Thamrin Jakarta beberapa waktu yang lalu, ternyata ada yang dengan gagah berani memberikan definisi mengenai terorisme.
Sebuah sumber bahan hukum tersier mengemukakan, terorisme pada pokoknya meliputi penggunaan kekerasan untuk menakut-nakuti orang-orang pada suatu area sebagai suatu cara untuk mencoba mencapai tujuan politik. Amerika Serikat bahkan merinci tindakan tersebut menjadi dua;  Terorisme Internasional dan Terorisme Domestik. Keduanya dilakukan dengan melibatkan kekerasan atau tindakan yang membahayakan kehidupan manusia. Termasuk juga yang sangat berani dan berkepentingan adalah Indonesia yang pada 2002 memberlakukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Dalam Perpu yang selanjutnya berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2003 itu ditetapkan menjadi undang-undang terdapat konsep dan definisi mengenai terorisme yang dituangkan dalam dua pasal lengkap dengan penjelasan masing-masing. Keberadaan konsep dan definisi dalam suatu undang-undang sangat penting artinya, karena dengan konsep dan definisi itulah suatu undang-undang atau pun produk-produk hukum yang lainnya dapat dioperasionalkan.
Dengan adanya rumusan definisi terkandung makna bahwa satu persoalan (hukum) sudah dapat diatasi, akan tetapi ternyata muncul persoalan lain terkait dengan model teror yang dilaksanakan kemudian. Model yang dimaksud adalah diperkenalkannya Kekerasan (Terorisme) Bermotiv Agama (religiously motivated violence (terrorism) yang aktivitasnya menunjukkan peningkatan sejak 1980. Bahkan mantan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS), Warren Christopher pada era Bill Clinton menjadi Presiden mengemukakan, “tindakan teroris yang mengatasnamakan agama dan atau yang mengusung identitas etnik lainnya telah menjadi salah satu tantangan keamanan yang paling mengemuka pasca perang dingin”.
Beberapa analisis menunjukkan bahwa kekerasan bermotiv agama tersebut pada pokoknya berakar pada fundamentalisme yang melahirkan fanatisme tingkat tinggi.  Kefanatikan agama menciptakan keinginan untuk melakukan serangan teror yang dapat menimbulkan jatuhnya korban yang bersifat massal. Berbagai tindak kekerasan yang dilakukan oleh satu pemeluk agama terhadap fisik pribadi atau pun sarana-prasarana bahkan ajaran agama yang lain merupakan contoh-contoh dari kekerasan (terorisme) bermotiv agama atau religion terrorism dengan fundamentalisme sebagai katalisnya.
Apabila diperbandingkan antara definisi terorisme yang satu dengan yang lainnya maka tampaklah satu persamaan yang mendasar. Ada pun persamaan yang dimaksud terletak pada aspek penggunaan kekerasan. Setiap tindakan teror dapat dipastikan bahwa di dalamnya terdapat tindak kekerasan yang tidak jarang mengakibatkan hilangnya nyawa banyak orang. Kekerasan merupakan unsur dan sarana utama dari terorisme yang pada akhirnya menempatkan terorisme identik dengan kekerasan itu sendiri. Dalam diskusi ini perspektif Hukum Buddhis akan berupaya menelaah secara obyektif sumber kekerasan pada umumnya termasuk juga yang dilakukan oleh umat Buddha sendiri dan selanjutnya menginformasikan tentang langkah-langkah preventifnya.
Prevensi Terorisme
Pada bagian terdahulu sudah disinggung secara singkat bahwa kefanatikan agama menciptakan keinginan untuk melakukan serangan teror. Hasil analisis seperti itu sesungguhnya belum dapat diterima sepenuhnya. Oleh karena itu dibutuhkan penelusuran yang lebih dalam lagi untuk memastikan penyebab atau akar terorisme. Hal ini berkaitan dengan fakta dalam masyarakat tentang banyaknya pemeluk agama yang sedemikian fanatik dalam pengertian selalu mendasarkan pikiran, ucapan dan perilakunya pada kebenaran umum agama, akan tetapi tidak memilih terorisme sebagai metode untuk menciptakan perubahan atau mencapai kondisi yang lebih baik.
Sejauh fanatisme yang juga berarti berkeyakinan yang kuat itu tidak dilakukan secara  berlebihan, destruktif, merugikan apalagi sampai menyerang keyakinan pemeluk agama lain, maka apa yang disebut dengan fanatisme tersebut tidaklah merupakan perilaku yang membahayakan. Bahkan dapat dikemukakan agama-agama besar dunia justru menempatkan konsep yang berintikan kesetiaan pada keyakinan sebagai kewajiban pokok dalam kehidupan beragama. Setiap agama mewajibkan pemeluknya untuk memiliki keyakinan atau saddha aatu sradha aatu credo.
Sebaliknya jikalau tidak memiliki keyakinan yang benar terlebih-lebih lagi terhadap yang suka mencampuradukkan ajaran agama yang satu dengan yang lain atau bahkan dengan politik, dll. maka yang bersangkutan dapat dikartegorikan dengan status keagamaan yang diragukan. Pemaparan yang ringkas tersebut semakin memperkuat pemahaman bahwa fanatisme an sich sesungguhnya tidaklah cukup untuk membuat seseorang, kelompok atau organisasi bahkan negara menjadi teroris.
Demikian juga apabila dikemukakan bahwa kemiskinan merupakan penyebab terorisme sebagai pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia, menimbulkan pembunuhan (massal) terhadap orang-orang yang tidak bersalah serta mengakibatkan kekacauan sosial itu. Tanpa mengabaikan dalil kriminologis tentang kemiskinan yang juga berperan sebagai katalisator timbulnya kejahatan, kemiskinan bukanlah faktor utama dan satu-satunya penyebab terorisme. Di samping karena banyak orang miskin yang tidak mengambil jalan kekerasan (terorisme) untuk meningkatkan taraf hidupnya, ternyata terorisme pada dasarnya juga dilakukan oleh yang berkecukupan dalam hal materi.
Seorang guru Zen Buddhism yang bernama Thich Nhat Hanh sebagaimana dikutip Arvind Kumar Singh mengemukakan, akar terorisme adalah kesalahpahaman, intoleransi, kebencian, dendam dan putus asa. Kelima faktor tersebut dapat menyerang dan menguasai setiap makhluk tanpa memandang status sosialnya. Perbedaannya, para bijaksana dapat mengendalikan faktor-faktor tersebut, sementara yang terlena akan terhanyut dibawa arus yang bermuara pada penderitaan.
Ajaran Buddha atau Buddhisme menjelaskan perihal kesalahpahaman, intoleransi, kebencian, dendam dan putus asa tersebut dengan konsep tiga akar kejahatan, Konsep Brahmavihara dan Virya. Konsep Tiga Akar Kejahatan bahwa kebodohan atau kegelapan batin (avijja) termasuk juga kesalahpahaman dalam arti memahami secara salah (Moha), keserakahan, kerakusan (Lobha) dan kemarahan serta kebencian termasuk dendam (Dosa) merupakan sumber segala kejahatan.
Konsep Brahmavihara yang terdiri dari Metta (cinta kasih), Karuna (kasih sayang), Mudita (empati) dan Upekkha (keseimbangan batin), terutama pada unsur Mudita yang berarti memiliki sikap empati yang dapat menumbuhkan toleransi, pada dasarnya merupakan konsep yang sangat dibutuhkan untuk mengendalikan emosi sosial dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara serta pergaulan internasional yang semakin majemuk. Sementara itu Konsep Virya atau etos kerja penuh semangat merupakan penawar atas keputusasaan di tengah-tengah kehidupan yang penuh dengan persaingan baik dalam lapangan ekonomi maupun politik.
Terorisme yang berintikan kekerasan dengan latar belakang kesalahpahaman, intoleransi, kebencian, dendam dan putus asa tersebut pada dasarnya merupakan suatu fenomena yang dapat dicegah. Perspektif Hukum Buddhis menaruh harapan yang besar dapat mencegah aksi yang dapat menghilangkan nyawa banyak orang dan kerugian harta benda serta fasilitas-fasilitas keagamaan, dan yang terpenting memiliki dasar-dasar yang relevan dengan maksud tersebut.
Dasar-dasar Hukum Buddhis tertuang dalam konsep Pancha Sila atau biasa ditulis Pancasila Buddhis yang merupakan bagian dari Vinaya. Dalam bahasa Pali, bahasa yang dipergunakan oleh Sang Buddha, Panca berarti lima, Sila artinya moralitas-kemoralan. Pancasila adalah lima ajaran mengenai moralitas untuk TIDAK: (1) membunuh (panatipata), mencuri-mengambil barang yang tidak diberikan (adinnadana), melakukan perbuatan asusila (kamesu-micchacara), berbohong (musavada), kehilangan kesadaran karena minuman keras dan sejenisnya (sura-meraya-majja-pamadatthana).
Sila merupakan sarana yang digunakan untuk dapat mempunyai sikap atau perilaku atau tindakan yang baik, yang murni atau yang tidak tercela. Dengan kata lain... sila juga sebagai alat pengendali agar terhindar dari perbuatan dan ucapan yang tidak terpuji. Sila berada pada posisi kedua dalam tiga landasan perbuatan berjasa (punna-kiriya-vatthu) yang terdiri dari : dana – memberi (dana), sila-moralitas (sila) dan pengembangan mental (bhavana). Disimak dari fungsinya, sila juga mempunyai misi penghindaran atau yang disebut dengan virati.
Aturan-aturan kemoralan yang tertuang dalam Pancasila Buddhis sesungguhnya merupakan pantangan (abstinence) dalam pengertian setiap orang yang mengikuti ajaran Buddha memiliki pantangan untuk melakukan pembunuhan termasuk berbagai bentuk kekerasan dan dengan demikian terkandung pula makna bahwa yang telah berpantang itu secara langsung berarti telah menghindarkan dirinya sendiri dari perbuatan yang melanggar.
Dari uraian singkat mengenai Pancasila Buddhis sebagai aturan kemoralan tampak Hukum Buddhis sangat menghargai kehidupan semua makhluk apalagi manusia. Penghargaan tersebut  direalisasikan dalam bentuk penempatan virati –upaya berpantang melakukan perbuatan yang dapat mengakibatkan hilangnya nyawa dan berbagai bentuk kekerasan lain (panatipata) sebagai sebuah prioritas moral. Virati ini juga  merupakan bentuk penghormatan terhadap hak asasi manusia yang paling mendasar.
Hukum Buddhis bertujuan untuk menghindarkan penderitaan (Dukkha) dan meningkatkan derajat kemanusiaan dengan jalan memahami perihal timbul dan lenyapnya penderitaan serta tanpa merendahkan derajat itu sendiri apalagi sampai mengingkari, mengurangi atau bahkan menghilangkannya. Tidak ada rekomendasi untuk melakukan semacam perang kesetiaan atau setidak-tidaknya counter attack terhadap pihak yang ditengarai sebagai penyebab penderitaan. Di samping itu Dhamma (Hukum Kebaikan dan Kebenaran) juga tidak mengandung doktrin perihal mengorbankan diri dengan dalih penegakan hukum.
Sampai pada aspek tersebut tampak prinsip Hukum Buddhis sudah sejak awal menyimpang dari sejarah perkembangan prinsip hukum umum. Richard Thurnwald  pada pokoknya mengemukakan, matriks dalam pengertian rangkaian kondisi yang mendukung seluruh sistem hukum adalah balas dendam (it is often said that the matrix of all law is the blood-feud). Beranjak dari pandangan itu dapat dikemukakan, Hukum Buddhis merupakan anomali sejarah hukum karena tidak memiliki doktrin mengenai pembalasan dendam.
Dalam kaitan ini terdapat dua doktrin penting yang dibabarkan dalam Dhamma; pertama,  doktrin mengenai perenungan hubungan kamma dan kehidupan (abhinhapaccavekkhana patha) bahwa setiap orang memiliki karmanya sendiri yang tidak dapat dialihkan dan diterima kepada serta dari orang lain. Setiap orang akan menerima jatah karmanya masing-masing. Doktrin kedua tentang kebahagiaan (Sukha) orang yang dapat mengatasi baik rasa menang maupun kalah. Menurut doktrin ini, kemenangan dan kekalahan sama-sama memberikan posisi yang kurang mendukung peningkatan spiritual.
Doktrin tersebut pada pokoknya memberikan pelajaran bahwa karma kekerasan akan memanen kekerasan juga. Dalam bahasa yang sangat familiar YM Dalai Lama mengemukakan, human conflicts do not arise out of the blue.  They occur as a result of causes and conditions, many of which are within the protagonists control. Violence undoubtedly breeds more violence.
 Intinya, penggunaan kekerasan itu menyerupai pola persaingan yang tidak sehat (free fight) dengan agenda tunggal mengalahkan atau bahkan meniadakan (exclusionary practices) yang lain. Berdasarkan doktrin-doktrin tersebut pada satu sisi umat dibimbing untuk menghindari kekerasan yang menurut doktrin tadi berarti dengan sendiri terhindar dari kekarasan, dan pada sisi lain untuk tidak takut pada menghadapi terorisme. Berdasarkan keyakinan (saddha) atas Dhamma; tidak akan pernah terjadi penerimaan atas hasil perbuatan (kamma) yang tidak pernah dilakukannya. Sepanjang tidak pernah meneror orang lain, maka ketakutan akan diteror merupakan sikap yang tidak beralasan.
Kekerasan terlebih-lebih yang mengakibatkan hilangnya nyawa merupakan praktek yang sangat dihindari dan harus dicegah agar tidak sampai muncul dalam bentuk pikiran, ucapan dan tindakan. Hukum Buddhis (Dhamma) sebagai hukum kebaikan dan kebenaran memiliki komitmen yang tinggi dan mempunyai resep  atau metode dalam rangka prevensi terhadap terorisme atau kekerasan yang bermotiv agama yang berkembang akhir-akhir ini.
Metode yang ditawarkan oleh Dhamma sesungguhnya memiliki performance-cara kerja yang sederhana. Mencegah tindak kekerasan yang merupakan akar terorisme dilakukan dengan menumbuhkan atau mengembangkan Brahmavihara yang terdiri dari Metta, Karuna, Mudita dan Upekha. Akan tetapi di antara empat sikap luhur yang paling relevan dengan kekerasan an sich diletakkan pada fungsi Metta.
Ada pun yang dimaksud dengan  Metta adalah cinta kasih (loving-kindness) tanpa nafsu yang posesif terhadap semua makhluk secara universal, tanpa sekat-sekat kesukuan, ras, golongan, dan agama. Dalam salah satu Sutta (kotbah) Sang Buddha mengemukakan, metta itu sebagaimana seorang Ibu mempertaruhkan jiwa, melindungi putra tunggalnya. Demikianlah terhadap semua makhluk, kembangkanlah pikiran cinta kasih tanpa batas.
Landasan sutta yang kemudian dikenal dengan konsep Karaniyametta Sutta (Kotbah tentang cinta kasih) itu bertumpu pada doktrin yang tertuang dalam Majjima Nikaya (uraian yang berdurasi menengah) nomor 128 yang pada pokoknya berbunyi: “kebencian tidak akan berakhir apabila dibalas dengan kebencian, akan tetapi kebencian akan berakhir jikalau dibalas dengan cinta kasih”.  
Sejarah keyakinan Buddhis telah mencatat bahwa konsep Metta tersebut cukup berhasil mencegah kekerasan terutama yang terjadi pada zamannya Sang Buddha. Hal ini dapat dibuktikan pertama, ketika harus menyadarkan dan menghentikan tindakan Angulimala yang dipersyaratkan harus memperoleh 1000 (seribu) jari kelingking manusia untuk menyempurnakan kesaktiannya, dan yang kedua mencegah rencana jahat Devadatta, sepupu Sang Buddha sendiri.
Dalam hal pencegahan kekerasan pada dasarnya Sang Buddha selain membabarkan ajaran juga sudah menunjukkan keteladanannya kepada dunia. Bagi umat Buddha keteladanan tersebut diyakini masih memiliki relevansi terutama dengan semakin maraknya kekerasan yang melanda banyak kawasan di berbagai belahan bumi, tak terkecuali di negara-negara Buddhis yang seharusnya merupakan Bumi Cinta Kasih.
Menyadari keampuhan cinta kasih, secara khusus Sangha Theravada Indonesia berkenaan dengan perayaan Hari Trisuci Waisak 2560/2016 baru-baru ini mengusung Cinta Kasih Penjaga Dunia sebagai tema perayaan. Beberapa bulan sebelumnya, pada Maret 2016 Vihara Manggala Giri, menyelenggarakan kegiatan pembacaan Paritta Karaniyametta Sutta (intisari kotbah Buddha mengenai cinta kasih) selama 8 (delapan) kali 24 (dua puluh empat) jam atau 8 (delapan) hari terus-menerus. Kegiatan tersebut bertujuan memberikan suatu kontribusi bagi terciptanya perdamaian dunia....dan ini dikumandangkan dari Desa Alasangker Kabupaten Buleleng, Bali.

Penutup
Terorisme yang bersumber dari kesalahpahaman, intoleransi, dendam dan putus asa dilakukan oleh orang-orang yang menderita karena kebodohan, kebencian serta keserakahan yang seringkali juga dipicu oleh kelaparan, dilakukan dengan cara mengurangi, merampas atau meniadakan sehingga menimbulkan kerugian baik pada fasilitas keagamaan maupun jiwa umat beragama, pada dasarnya dapat dikualifikasikan sebagai kekerasan (terorisme) yang bermotiv agama. Tindak kekerasan menghilangkan hidup termasuk meminta, mengarahkan dan menggerakkan orang lain melakukannya (upakkamo) merupakan pelanggaran Sila sebagai salah satu bentuk ekspresi Hukum Buddhis.
Doktrin Hukum Buddhis memberikan perspektif bahwa keinginan melakukan kekerasan dalam bentuk teror sekali pun sesungguhnya dapat dicegah. Berkenaan dengan upaya tersebut, Hukum Buddhis yang juga tidak lain adalah Dhamma (Ajaran Buddha-Buddhisme) mempergunakan pendekatan Brahmavihara terutama Metta untuk menetralisasikan kekerasan. Dengan pendekatan itu tampak Hukum Buddhis menyediakan upaya mencegah terorisme dengan metode perlakuan terbalik atau yang dapat dikomunikasikan dengan konsep Actio a Contrario.
Mengingat kegiatan teror sekarang ini sudah menyebar secara global dan yang paling mengkhawatirkan adalah terkontaminasinya institusi agama oleh terorisme, maka tidak terlalu berlebihan apabila dikemukakan bahwa pertama-tama institusi agama itu sendiri juga sesungguhnya membutuhkan perlindungan dari infiltrasi terorisme yang bermethamorfose seolah-olah kekerasan juga  merupakan ajaran agama. Dalam mencegah kekerasan, Umat Buddha selain mempertebal Metta, sangat direkomendasikan juga untuk semakin banyak mempraktekkan Hiri (malu melakukan kejahatan) dan Ottapa (takut akan akibatnya). Dalam konteks zaman sekarang ini, Metta, Hiri dan Ottapa adalah penjaga manusia dari kekerasan.
           Terorisme atau bentuk kekerasan lainnya yang sesungguhnya merupakan saluran atau cetusan dari endapan kesalahan cara pandang, kedengkian, kebencian, dendam dan keputusasaan, seringkali pula dipicu oleh perilaku yang disadari atau pun tidak dari subyek yang menjadi korban kekerasan. Oleh karena itu setiap subyek sedapat mungkin hendaknya juga berpantang (virati) melakukan tindakan-tindakan yang dinilai provokatif, yang merangsang perilaku beringas.