Selasa, 10 Oktober 2017

MENGAPA DI TANAHKU TERJADI BENCANA

MENGAPA DI TANAHKU TERJADI BENCANA ?
Secara hampir bersamaan dengan hari-hari saat umat Buddha melaksanakan salah satu ajaran dhamma yaitu berdana kepada Bhikkhu Sangha pada Kathina tahun ini, kegiatan Gunung Agung di Bali meningkat hingga mencapai status awas. Artinya, bencana gempa, letusan gunung yang memuntahkan material, aliran lahar panas dan dingin akan terjadi sewaktu-waktu. Setiap terjadi bencana, sekerap itu pula timbul pertanyaan mengapa di tanahku terjadi bencana ?. Dengan segala kerendahan hati, berikut ini diketengahkan sebuah tulisan dari perspektif  Buddhisme yang dikutip dari websitenya Vihara Samagiphala.

ANATOMI BENCANA
Oleh Ven. Dr K Sri Dhammananda Maha Nayaka Thera,
The Buddhist Channel, Februari 24, 2005
Kuala Lumpur, Malaysia – Tragedi tsunami Asia yang menimpa negara-negara perbatasan Lautan India Desember tahun lalu telah menunjukkan kekuatan alam yang dahsyat. Banyak orang mempertanyakan penyebab bencana tersebut, apakah bencana itu sebagai tanda “ketidaksenangan Tuhan” untuk menghukum manusia atas semua perbuatan salahnya di bumi.
Sebelum kita membuat asumsi-asumsi bahwa beberapa kekuatan luar adalah penyebab dari kehancuran besar yang sedemikian rupa, kita harus belajar memahami sifat sebenarnya dari kehidupan, terutama tentang keberadaan manusia.
Kata “manusia” berasal dari kata Sansekerta “manussa” yang berarti “makhluk manusia”. Asal mula kata “manussa” adalah “mana” atau batin. Dari semua alam kehidupan yang berbeda, manusia adalah satu-satunya makhluk yang mempunyai kesempatan menjadi seorang Buddha. Mereka mempunyai kesempatan ini karena manusia mempunyai kecerdasan dan kebijaksanaan untuk mempertanyakan keberadaan mereka, bagaimana dan mengapa mereka dilahirkan di dunia ini dan tentang makna kehidupan itu sendiri.
Dengan memakai kecerdasan inilah, manusia dapat mengembangkan pengetahuan tentang sifat kehidupan, tentang apa yang membentuk sebagai kehidupan manusia dan sifat makhluk itu sendiri. Melalui penyelidikan demikianlah, Sang Buddha mengajarkan kita bahwa keberadaan semua makhluk hidup dan alam semesta karena gabungan dari elemen dan energi.
Elemen-elemen ini – tanah, angin, air dan api diatur oleh hukum alam yang bekerja melalui putaran yang tak ada hentinya dari kelahiran, tumbuh, hancur dan lenyap. Obyek-obyek alam yang hidup dan tidak hidup ini terjadi berdasarkan kondisi dan timbulnya peristiwa-peristiwa mental serta fisik yang diatur oleh hukum-hukum alam (dhamma niyama).
Sang Buddha menerangkan tentang lima hukum alam, salah satunya adalah hukum energi (utu niyama). Energi, dalam dua bentuk panas dan dingin, menyebabkan banyak perubahan di dalam tubuh dan lingkungan. Mereka selalu mengalami perubahan yang terus menerus, dan selalu mencari suatu keseimbangan. Hukum ini yang mengatur perubahan-perubahan di tubuh, seperti umur tua dan penyakit, atau dalam konteks ekologis berkenaan dengan hal-hal seperti cuaca, musim dan pergerakan-pergerakan bumi.
Sang Buddha telah menerangkan dengan sangat jelas bahwa hukum ini tidak hanya bekerja sebatas di dunia fisik ini, tetapi juga di seluruh alam semesta. Hukum ini mempengaruhi setiap sistim planet yang ada dan semua bentuk alam metafisika, apakah itu benda atau tidak berupa benda. Semua elemen ini dapat berubah, dari waktu ke waktu mengalami ketidakseimbangan.
Demikan juga kehidupan, manusia dan bumi dituntun oleh hukum-hukum alam. Mereka hancur, lenyap dan dilahirkan berulang-ulang, ditentukan oleh perputaran yang tak ada hentinya. Dari waktu ke waktu terjadi bencana karena elemen-elemen dasar seperti air, tanah, angin dan api selalu dalam perubahan dan perlu mencari suatu keseimbangan. Inilah sebabnya mengapa Sang Buddha berkata bahwa hidup adalah dukkha, karena manusia juga mengalami perubahan demikian. Tanpa memandang status atau jenis binatang, karena perubahan alam yang terus menerus inilah, setiap makhluk hidup mengalami dukkha.
“Bencana tsunami Asia
adalah akibat ketertundukan Hukum Kamma pada hukum alam”
Buddha Dhamma mengajarkan bahwa kita adalah perancang nasib kita sendiri dan sebagai manusia, kita akhirnya dapat mengendalikan kekuatan yang berhubungan dengan kamma kita sendiri, umat Buddha tidak percaya bahwa semua hal berhubungan dengan kamma. Mereka tidak mengabaikan peran yang dimainkan oleh kekuatan-kekuatan alam lainnya. Seperti yang dapat dilihat, kamma hanya merupakan satu aspek dari hukum alam. Maka dugaan sederhana bahwa semua pengalaman hidup disebabkan oleh kamma adalah tidak benar.
Pemahaman elemen-elemen pokok yang berbeda dalam fisik dan alam-alam fisik ini membantu kita mendapatkan suatu pengertian yang lebih jelas tentang bagaimana satu kejadian dapat dihasilkan lebih dari satu sebab dan bagaimana faktor-faktor penentu yang berbeda dapat dengan serentak terlibat dalam mengkondisikan fenomena serta pengalaman-pengalaman tertentu. Biasanya, saat lebih dari satu dasar sedang bekerja, dasar yang lebih dominan akan menang.
Misalnya, temperatur yang ekstrim (utuniyama) dapat mempengaruhi kondisi batin (cittaniyama) dan menyebabkan seseorang merasa sakit. Atau semangat kuat (cittaniyama) sementara waktu dapat melebihi pengaruh lingkungan yang negatif (utuniyama) dan akibat kamma (kammaniyama). Dalam kasus bencana alam, energi yang berhubungan dengan karma menjadi tidak aktif karena kekuatan dari pergerakan tanah dan air yang terlalu kuat, seperti gempa bumi dan tsunami. Akibat bencana tsunami Asia yang tiba-tiba terjadi adalah sebuah demonstrasi penting tentang ketertundukan Hukum Kamma pada hukum alam (utuniyama).
Ombak yang menghancurkan dan mengambil ratusan dari ribuan makhluk hidup bekerja tanpa memandang jasa-jasa kebaikan para korban. Mereka yang mempunyai kamma baik dan buruk sama-sama menderita. Tidak seorangpun, dan tidak ada, yang dapat lolos dari energi yang menyatakan perubahan sebagai sesuatu yang tetap. Fondasi Buddhisme berdasarkan dari penerimaan kebenaran universal ini. Pemahaman mendalam atas pengetahuan tersebut akan membuat seseorang menerima dengan tenang apa yang tidak dapat dirubah, dengan demikian membuat seseorang mengalihkan energi positif mereka pada hal-hal yang positif dan spiritual.
Adalah perlu bagi manusia untuk memelihara belas kasihan dan kebaikan sebagai alat untuk belajar hidup dengan perubahan yang terus menerus. Hidup tenang tidak berarti menundukkan alam. Hal itu membuat seseorang mempunyai pengertian dan pengetahuan mendalam atas kekuatannya. Dan ini adalah alasan tepat mengapa tidak masuk akal menyalahkan kekuatan-kekuatan luar (seperti Tuhan) atas malapetaka besar yang disebabkan oleh tsunami yang menghancurkan tersebut. Tidak dapat menyalahkan siapapun dan apapun.
Tidak perlu menjelaskan secara masuk akal tindakan Tuhan karena bencana tsunami dengan jelas menunjukkan perubahan dari elemen-elemen tanah. Hal itu benar-benar membuka mata kita pada keadaan alam, keadaan sesaat mereka, dan ketidakakuan mereka. Inilah alasan kita untuk tidak mengembangkan keinginan membuta terhadap hal-hal duniawi. Kemelekatan terhadap jasmani kita sendiri dan lingkungan tentunya akan menuntun kita menuju penderitaan yang lebih banyak karena kelahiran kembali di masa depan membuat kita mengalami kekuatan hukum alam yang tak dapat diramalkan. Kita bahkan dapat memakai ini sebagai pelajaran untuk pencarian keselamatan, yaitu berjuang untuk dilahirkan kembali di “suatu tempat yang sesuai” (patirupadesavaso, dari Manggala Sutta, Khotbah tentang Berkah), bebas dari penderitaan yang disebabkan oleh hukum alam yang seperti itu.
Bencana juga merupakan sebuah peringatan yang tepat bagi kita untuk memeriksa kembali bagaimana kita hidup, dan untuk menilai kembali hubungan kita dengan alam. Hukum Sebab Akibat (paticca samuppada) memberikan penjelasan tentang timbulnya batin dan badan dalam suatu ikatan yang saling mempengaruhi dan bergantungan. Apa yang kita pikirkan, ucapkan atau lakukan mempunyai pengaruh jauh di luar keberadaan jasmani kita. Jika kita meracuni tanah, pengaruhnya akan kembali menghantui kita melalui air-air yang terpolusi. Jika kita mengambil sikap yang selalu ingin menundukkan alam, berpikiran bahwa kecerdasan kita adalah yang paling tinggi, maka kita harus siap menghadapi akibat dari kemarahannya.
Bencana adalah merupakan sebuah peringatan bagi kita untuk bergabung kembali pada kebenaran tentang sikap yang tidak ekstrim. Hal ini adalah tepat terutama di jaman-jaman sekarang saat pengembangan yang berlebihan telah menyebabkan ketidakseimbangan ekologis yang besar. Berbagai studi telah menunjukkan bahwa jika batu karang di tepi pantai Sri Lanka tetap utuh, batu karang tersebut akan memainkan peran sebagai penahan guna mengurangi pengaruh dari ombak yang menghantam tepian pantai. Di sepanjang pantai India, keberadaan rawa-rawa pohon Bakau dengan jelas menunjukkan bahwa kreasi alam dapat membantu mencegah malapetaka yang lebih besar.
Hidup dengan sikap yang tidak ekstrim di masyarakat masa kini tidak berarti menyerah pada kemiskinan. Hal ini berarti mempunyai kemampuan dan kewaspadaan untuk hidup dalam harmoni dengan alam di sekitarnya. Hal ini berarti tidak merusak alam dan menciptakan lingkungan buatan manusia agar memuaskan indera-indera kita. Hidup dalam sikap tidak ekstrim berarti mendorong untuk mempunyai belas kasihan terhadap satu sama lain, sehingga nilai-nilai manusia melebihi keinginan material.
Sementara dunia berduka atas para korban bencana, mari kita pelihara belas kasihan dan melimpahkan jasa-jasa kepada mereka yang telah meninggal. Kita dapat melakukan ini dengan berbagai cara. Satu, kita mendapatkan jasa saat kita membantu usaha-usaha pertolongan sehingga kita dapat menyediakan bantuan langsung kepada mereka yang menderita. Dua, kita memancarkan energi mental yang positif kepada mereka yang telah meninggal sehingga mereka dapat terlahir kembali di alam yang lebih baik. Tiga, mari kita juga memancarkan pikiran cinta kasih kepada para pekerja penolong yang saat ini bekerja sebaik-baiknya untuk menolong para korban.
Semoga kita semua belajar menjadi sadar dan lebih sensitif pada hasil-hasil kerja yang telah kita lakukan untuk diri kita sendiri dan alam sehingga kita dapat hidup harmonis di antara kita sendiri, bersama alam dan alam semesta.
———————-
Dr Sri Dhammananda Maha Nayaka Thera adalah ketua Sangha Malaysia dan Singapura. Artikel ini adalah rekaman dari pembicaraan yang dibawakan di “Dharma Assembly of Blessings for Tsunami Victims” (Perkumpulan Dharma untuk Pemberkahan bagi para korban Tsunami) Stadium Negara, Kuala Lumpur, Malaysia pada tanggal 15 Januari 2005.
Sumber : The Anatomy of Disaster
Diterjemahkan oleh : Jenny H., Surabaya
Editor : Bhikkhu Uttamo

Sabtu, 19 November 2016

PENISTAAN AGAMA BUDDHA

Hingga menjelang tutup tahun 2016 beberapa hari lagi, berbagai peristiwa telah kita saksikan bersama. Diantaranya ada yang biasa-biasa saja alias rutin, misalnya ada tokoh politik mengeluarkan pernyataan yang dinilai menghasut dan ketika apa yang dikatakan itu benar-benar terjadi, pihak yang bersangkutan seketika membantahnya sebagai inspirator. Selain itu ada juga yang menggemparkan antara lain misalnya peristiwa pembakaran vihara di Tanjung Balai Sumatera Utara, perilaku orang  yang mengaku mampu menggandakan uang, dan ucapan Ahok di Kepulauan Seribu yang mengundang demonstrasi dan protes besar-besaran di Jakarta.
       Beberapa dari peristiwa tersebut dikatakan sangat kental dengan nuansa penghinaan. Membicarakan  perihal penistaan atau penghinaan, maka kuranglah bijaksana apabila tidak memahami apa itu penghinaan. Apa yang dilakukan oleh orang-orang sehingga yang bersangkutan dituduh melakukan penghinaan. Apa akibatnya sehingga subyek yang menjadi sasaran penghinaan sampai harus menggalang masa dari seluruh penjuru, mendesak-desak aparat agar yang melakukan penghinaan itu segera dijadikan tersangka dan dijatuhi hukuman yang seberat-beratnya, bahkan ada yang minta supaya pelakunya dihukum mati.  
       Perihal yang terakhir ini pernah dialami oleh orang yang bernama "Salman Rushdie", seorang keturunan Pakistan yang  berkewarganegaraan Inggris. Pada 1988 Salman melalui bukunya yang berjudul "The Satanic Verses" telah membuat umat Islam di seluruh dunia marah besar dan berinisiatif  menghukum mati. Umat di negara-negara Islam berupaya keras untuk mewujudkan keinginan tersebut. Akan tetapi tidak ada satu pun yang berhasil, karena dalam hal ini pemerintah Inggris juga mengerahkan segenap kemampuan dan fasilitas yang dimilikinya  untuk "melindungi" warga negaranya.
       Untuk memahami istilah penghinaan atau penistaan harus ada acuannya dan untuk ini dipergunakan Pasal 156 dan 156 a Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) sebagai acuan. Pasal 156 barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Perkataan golongan dalam pasal ini dan pasal berikutnya berarti tiap-tiap bagian dari rakyat Indonesia yang berbeda dengan suatu atau beberapa hagian lainnya karena ras, negeri asal, agama, tempat, asal, keturunan, kebangsaan atau kedudukan menurut hukum tata negara. Sementara itu Pasal 156a
Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan:
a. yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia;
b. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apa pun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.
      Berdasarkan penelusuran terhadap ketentuan pasal tersebut dapatlah dipahamkan bahwa inti dari penghinaan itu adalah   pernyataan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan, dan penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama. Jadi yang dinamakan dengan penghinaan itu di dalamnya terkandung  3 unsur yaitu;  permusuhan, kebencian dan penyalahgunaan. Namun demikian apabila dipadatkan lagi ternyata unsurnya bukan 3 tetapi 2 yakni; kebencian dan penyalahgunaan. Apabila dikaitkan dengan Ajaran Buddha, maka kebencian itu adalah "dosa" dan penyalahgunaan atau penodaan bersumber dari "moha" atau kebodohan.
       jika demikian halnya maka dapat dikemukakan bahwa tidak sedikit  orang  berpotensi untuk melakukan penghinaan, baik terhadap agama orang lain maupun terhadap agama sendiri.  Karena tidak sedikit juga orang sesugguhnya memiliki potensi kebencian. Oleh karena juga kebencian merupakan perasaan dan apabila perasaan itu dinyatakan atau diungkapkan, maka jadilah penghinaan. Oleh karena  itu jangan marah dan jangan benci apabila merasa memperoleh penghinaan, terlebih-lebih lagi apabila didalam menyatakan protes atau ketidakpuasan terhapap penghinaan itu dibarengi dengan kerusuhan dan atau penjarahan. Apabila itu yang memang terjadi, maka sesungguhnya yang bersangkutan berarti sedang menistakan agamanya sendiri.
      Dengan pola seperti itu dapatlah dikatakan bahwa Agama Buddha setiap hari menerima penghinaan baik yang dilakukan oleh orang atau umat lain maupun oleh umat Buddha sendiri. Contohnya, ada vihara yang dibakar, ada arca Buddha yang dinaiki bagian kepalanya. Yang paling serius tetapi tidak disadari adalah pembuatan arca yang tangannya bersikap anjali, selain juga  ada arca Buddha yang dikontrakkan. Di samping itu ada juga yang tidak disadari, yaitu penempatan arca Buddha yang tidak pada tempatnya, misalnya di pinggir kolam renang, atau diajak ikut berjualan terutama oleh umat Buddha sendiri.
       Dari fenomena seperti itu timbulah persoalan;  Apa yg harus dilakukan apabila agama Buddha dihina atau dinistakan. Jawaban atas persoalan tersebut  pada intinya dapat diberikan  baik berdasarkan perspektif hukum negara maupun Buddhist.Kedua perspektif tersebut sesungguhnya memiliki pandangan yang sama; keduanya memandang bahwa perbuatan menghina atau menista itu merupakan perbuatan yang tidak baik dan tidak benar, terlebih-lebih lagi kalau karena penghinaan sampai menimbulkan korban, dan setiap penghinaan pasti menimbulkan korban; paling tidak korban perasaan.
       Apabila penghinaan itu ditangani berdasarkan Hukum Negara, maka Kepolisian tidak akan segera bertindak, melainkan setelah adanya "pengaduan" dari pihak yang dirugikan. Karena penghinaan menurut hukum itu termasuk "delik aduan" atau tindak pidana aduan". Apabila hanya didasarkan "laporan" saja maka ini tidaklah cukup untuk membawa kasus penghinaan itu ke tingkat "penuntutan" apalagi ke pengadilan. Sementara itu pada pihak yang dirugikan masih terdapat anggapan bahwa penegak hukum otomatis akan bekerja sehingga tidak perlu mengadu. Ini merupakan pemahaman hukum yang keliru.
       Apabila penghinaan itu diselesaikan menurut perspektif Buddhis, maka ada suatu respon yang sangat menarik yang perlu dicermati. Ketika umat dari suatu agama ribut gara-gara kitab sucinya dicemplungkan ke dalam lubang WC, sejumlah wartawan bertanya kepada  Ajahn Bram, seorang bhikkhu. Tanpa prasangka negatif terhadap para wartawan, apakah mereka bermaksud memprovokasi ataukah mengadu domba, yang pertanyaannya seperti ini ; apa yang akan anda lakukan apabila kitab suci agama Buddha  dicemplungkan ke lubang WC ?
      Sejurus kemudian kerumunan orang yang hadir di tempat itu menantikan bagaimana kira-kira jawaban yang akan diberikan, akan tetapi tanpa diduga sebelumnya, ternyata Ajahn Bram menjawab begini : "yang dilakukan bukanlah mengumpulkan umat, memberikan doktrin-doktrin kepada mereka, dan bukan juga meminta untuk mencari kemana pun juga orang yang telah mencemplungkan kitab suci ke WC, Alkabes tetapi pertama-tama saya akan memanggil tukang sedot WC untuk menormalkan kembali fungsi saluran WC, karena kalau dibiarkan terus seperti itu tentunya WC tidak dapat digunakan.
       Setelah memberi jawaban yang "nyleneh", Bhante Ajahn menjawab secara serius, bahwa dalam penghinaan terhadap keyakinan tidak sama pengertiannya dengan merobek, menginjak, membakar atau mencemplungkan buku ke WC. Ajaran Buddha terdapat dalam keyakinan. Buku hanya merupakan media tempat ajaran itu berada untuk sementara dan akan terserap dalam Keyakinan. Oleh karena itu dibagaimanakan pun juga buku-buku agama Buddha, dibakar seperti yang dilakukan terhadap buku-buku Budhhis di Universitas Nalanda, keyakinan terhadap Triratna tetap ada.
       Agama Buddha tidak mengajarkan apabila terdapat penghinaan maka umat harus harus menuntut si penghina sekalipun ia berada di dalam gedung batu. Dalam Brahmajala Sutta 5 dinyatakan :   “Para Bhikkhu, bilamana orang mengucapkan kata-kata yang merendahkan Buddha,  Dhamma dan Sangha, janganlah karena hal itu kamu membenci, dendam atau memusuhinya. Bilamana karena hal tersebut kalian marah atau merasa tersinggung, maka hal itu akan menghalangi jalan pembebasan diri....
....bilamana ada orang mengucapkan kata-kata yang merendahkan saya, Dhamma dan Sangha, maka kalian harus menyatakan mana yang salah dan menunjukkan kesalahannya dengan mengatakan bahwa berdasarkan hal ini atau itu, ini tidak benar, atau itu bukan begitu.......
       Menanggulangi penghinaan yang dilakukan oleh orang lain itu lebih mudah daripada mencegah agar diri kita sendiri tidak melakukan penghinaan terhadap orang lain. Jadi dalam menghadapi penghinaan dan atau mencegah penghinaan, seorang Buddhis itu lebih banyak dituntut untuk DIAM .... bukan karena diam itu adalah emas yang harganya naik setiap hari dan dicari-cari banyak orang hingga sampai kehilangan nyawa karena tertimbun dalam tambang, tetapi diam yang dimaksud itu adalah BERDIAM DALAM BRAHMA yang terdiri dari metta, karuna, mudita dan upheka.
      Empat keadaan batin ini disebut kediaman (vihara) sebab keempatnya semestinya menjadi tempat tinggal yang tetap bagi batin, seperti yang kita rasakan ”di rumah”; empat keadaan batin ini janganlah hanya menjadi tempat yang jarang ataupun hanya sebentar dikunjungi, yang segera dilupakan. Dengan kata lain, batin kita harus melebur sepenuhnya dalam keadaan luhur ini. Empat keadaan luhur ini seharusnya menjadi sahabat kita yang tak terpisahkan, dan kita harus sadar terhadapnya dalam semua aktivitas sehari-hari. Sebagaimana ungkapan dari Metta Sutta, Syair Cinta Kasih:
Ketika berdiri, berjalan, duduk, berbaring,
Selagi tiada lelap
Ia tekun mengembangkan kesadaran ini –Yang dikatakan: Berdiam dalam Brahma
Ke-empat keadaan ini –cinta kasih, welas asih, turut berbahagia, dan ke- seimbangan batin– dikenal juga sebagai keadaan tanpa batas (appamañña), karena, dalam kesempurnaan dan sifat sejatinya, keempatnya tidak dapat disempitkan oleh batasan-batasan dalam hal jangkauannya terhadap semua makhluk. Keempat keadaan batin ini haruslah tidak eksklusif dan tidak hanya mencakup sebagian dari makhluk; tidak dibatasi oleh keberpihakan maupun prasangka-prasangka. Batin yang telah mencapai Brahma-vihara yang tak ter- batas ini tidak akan menyimpan kebencian terhadap bangsa, suku, agama maupun kelas/golongan manapun.
       Untuk menyempurnakan            Brahmavihara, jangan lupa untuk tidak berperilaku provokatif yang dapat mendorong orang lain berbuat yang tidak baik. Setiap orang akan terhindar dari tindakan-tindakan yang bersifat merendahkan apabila ia sendiri mulai merendahkan diri, dan jikalau tidak ingin direndahkan sama sekali, jangan tanggung-tanggung merendahlah sampai tidak dapat direndahkan lagi. (sudarma sumadi)

Sabtu, 08 Oktober 2016

KEAJAIBAN UANG

"Keajaiban" merupakan suatu perkataan yang diakui atau tidak masih memukau banyak orang hingga saat ini. Perkataan tersebut seperti dengan sendirinya mampu menghipnotis hampir setiap orang yang mendengarkannya, dan terutama yang memang mengharapkan-mendambakan kehadirannya hampir setiap saat dalam hidupnya. Tidak tanggung-tanggung seorang profesor doktor yang sudah senior sekali pun ternyata begitu percaya dirinya memberikan "stigma ajaib" misalnya terhadap "kemampuan" Dimas Kanjeng Taat Pribadi mengeluarkan sejumlah uang dari bagian-bagian tubuhnya.
         Dalam kasus Dimas Kanjeng, sesungguhnya stigma keajaiban tidak perlu diberikan kepada Dimas Kanjeng, karena Kepolisian sudah menunjukkan pernan sekitar 3 jubah  yang sangat membantu trik Dimas dalam melancarkan aksi penggandaan. Predikat ajaib lebih pantas dilekatkan pada Sang Profesor Doktor, yang dengan bekal ilmu (politik) yang begitu mapan, dan pengalaman (politisi) bergaul dengan berbagai partai politik karena suka berpindah parpol, di samping bersedia mempercayai kemampuan Dimas, juga mengalokasikan sumber yang tak ternilai untuk menjadi Ketua Yayasan Dimas Kanjeng dan membela sepenuhnya " Sang Multivator" (sang pengganda)
         Dalam Buddhisme sangat sulit untuk menjelaskan makna dari  perkataan keajaiban, bahkan nyaris tidak mungkin. Bagaimana bisa menjelaskan, Buddhisme sendiri seperti tidak mengenal kata keajaiban atau miracle dalam perbendaharaan katanya. Dalam kaitannya dengan "penggandaan", jangankan melipatgandakan sejumlah uang seperti yang selama ini dipercayai mampu dilakukan oleh Dimas, dalam Buddhisme tidak pernah dijumpai adanya sumber-sumber  yang mengemukakan misalnya mengenai kemampuan untuk memperlihatkan diri pada dua tempat yang berbeda pada waktu yang bersamaan atau bentuk-bentuk penggandaan lain.
      Ketiadaan tersebut secara langsung menunjukkan bahwa keinginan-keinginan untuk memiliki atau pun mengambil keuntungan dari kemampuan menggandakan, pada dasarnya  tidak memperoleh tempat dalam Buddhisme. Selain kosakatanya tidak dikenal, bagaimana pun juga kegiatan "menggandakan" akan lebih banyak menghasilkan kepalsuan. Sementara itu kepalsuan merupakan salah bentuk kebohongan dan menurut ajaran kemoralan Buddhis, menghindari kebohongan dalam pengertian tidak berbohong merupakan salah satu bentuk "virati" (penghindaran) untuk memulai sebuah kejujuran.
    

Sabtu, 06 Agustus 2016

MENCEGAH TERORISME a la AGAMA BUDDHA

Tulisan sederhana ini merupakan sebagian kutipan dari makalah yang berjudul "Pencegahan Terorisme; Perspektif Hukum Buddhis", yang telah disampaikan dalam rangka Diseminasi Pencegahan Terorisme Dari Berbagai Sudut Pandang. Diseminasi diselenggarakan oleh Program Doktor (S3) Ilmu Hukum UNUD pada 03 Agustus 2016.


DASAR MORAL HUKUM BUDDHIS PENCEGAHAN TERORISME
Terorisme dalam diskusi ini merupakan suatu obyek dalam pengertian siapa pun dan dikaitkan dengan variabel apa pun, semua pembicaraan harus mengarah untuk tercegahnya tindakan yang disebut dengan terorisme. Oleh karena itu pekerjaan terpenting pertama yang harus dilakukan adalah menemukan pengertian mengenai terorisme agar sasaran dari upaya prevensi menjadi jelas. Namun demikian mendefinisikan terorisme yang dapat diterima luas oleh semua kalangan tidaklah mudah lantaran konsep tersebut mengandung dwimakna (ambiguous) atau berarti ganda – ambigu.
Dikatakan berdwimakna karena pada satu sisi sehubungan dengan dampak destruktif yang ditimbulkannya baik yang menimpa harta benda, maupun jiwa dan kemanusiaan, terorisme itu dikutuk, diburu dan diberantas dengan mengerahkan segala sumber yang tersedia, akan tetapi pada sisi lain terorisme juga seakan-akan meledek berbagai upaya cegah-berantas yang telah dilakukan oleh otoritas keamanan dengan cara hampir selalu berhasil muncul kembali pada tempat dan kemasan yang baru sembari tetap mempertahankan spiritnya yang lama.
Prof. Dr.Arvind Kumar Singh mengungkapkan kondisi tersebut dengan kalimat....that one’s terrorist is another’s ‘freedom fighter’. For example, those, who are Palestinians ‘freedom fighters’, are for Israelis ‘terrorists’ to be killed and exterminated. So also in Kashmir, those who are ‘terrorists’ for India are glorified as ‘freedom fighters’ by Pakistan. Sudah tentu perbedaan cara pandang tersebut berlatar belakang pada perbedaan kepentingan antara yang menekankan keamanan dan kemanusiaan dengan yang ingin mengambil keuntungan di tengah-tengah ketakutan massa.
Perbedaan yang tajam tersebut pada akhirnya menimbulkan pengaruh yang tidak menguntungkan berkenaan dengan upaya merumuskan definisi terorisme. Bahkan masih menurut Arvin Kumar Singh mendefinisikan terorisme itu sesungguhkan merupakan tugas yang membahayakan (hazardous task), sehingga Tak kurang Majelis Umum (General Assembly) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tempat berkumpul dan bekerjanya para delegasi dari berbagai negara itu sendiri sampai saat ini belum berhasil menemukan definisi terorisme yang dapat diterima secara luas oleh semua kalangan.
Kevakuman definisi untuk sementara waktu ini menimbulkan situasi keilmuan yang rada aneh, dimana konsep (terorisme) yang nantinya menjadi definiendum (obyek yang didefinisikan) itu berhasil diketemukan, akan tetapi sangat boleh jadi karena ketakutan yang begitu mendalam, lantas tidak berani memberikan definisi. Namun demikian belasan tahun sebelum Presiden Joko Widodo menyerukan “Kami Tidak Takut” terkait ledakan bom di Jl. Thamrin Jakarta beberapa waktu yang lalu, ternyata ada yang dengan gagah berani memberikan definisi mengenai terorisme.
Sebuah sumber bahan hukum tersier mengemukakan, terorisme pada pokoknya meliputi penggunaan kekerasan untuk menakut-nakuti orang-orang pada suatu area sebagai suatu cara untuk mencoba mencapai tujuan politik. Amerika Serikat bahkan merinci tindakan tersebut menjadi dua;  Terorisme Internasional dan Terorisme Domestik. Keduanya dilakukan dengan melibatkan kekerasan atau tindakan yang membahayakan kehidupan manusia. Termasuk juga yang sangat berani dan berkepentingan adalah Indonesia yang pada 2002 memberlakukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Dalam Perpu yang selanjutnya berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2003 itu ditetapkan menjadi undang-undang terdapat konsep dan definisi mengenai terorisme yang dituangkan dalam dua pasal lengkap dengan penjelasan masing-masing. Keberadaan konsep dan definisi dalam suatu undang-undang sangat penting artinya, karena dengan konsep dan definisi itulah suatu undang-undang atau pun produk-produk hukum yang lainnya dapat dioperasionalkan.
Dengan adanya rumusan definisi terkandung makna bahwa satu persoalan (hukum) sudah dapat diatasi, akan tetapi ternyata muncul persoalan lain terkait dengan model teror yang dilaksanakan kemudian. Model yang dimaksud adalah diperkenalkannya Kekerasan (Terorisme) Bermotiv Agama (religiously motivated violence (terrorism) yang aktivitasnya menunjukkan peningkatan sejak 1980. Bahkan mantan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS), Warren Christopher pada era Bill Clinton menjadi Presiden mengemukakan, “tindakan teroris yang mengatasnamakan agama dan atau yang mengusung identitas etnik lainnya telah menjadi salah satu tantangan keamanan yang paling mengemuka pasca perang dingin”.
Beberapa analisis menunjukkan bahwa kekerasan bermotiv agama tersebut pada pokoknya berakar pada fundamentalisme yang melahirkan fanatisme tingkat tinggi.  Kefanatikan agama menciptakan keinginan untuk melakukan serangan teror yang dapat menimbulkan jatuhnya korban yang bersifat massal. Berbagai tindak kekerasan yang dilakukan oleh satu pemeluk agama terhadap fisik pribadi atau pun sarana-prasarana bahkan ajaran agama yang lain merupakan contoh-contoh dari kekerasan (terorisme) bermotiv agama atau religion terrorism dengan fundamentalisme sebagai katalisnya.
Apabila diperbandingkan antara definisi terorisme yang satu dengan yang lainnya maka tampaklah satu persamaan yang mendasar. Ada pun persamaan yang dimaksud terletak pada aspek penggunaan kekerasan. Setiap tindakan teror dapat dipastikan bahwa di dalamnya terdapat tindak kekerasan yang tidak jarang mengakibatkan hilangnya nyawa banyak orang. Kekerasan merupakan unsur dan sarana utama dari terorisme yang pada akhirnya menempatkan terorisme identik dengan kekerasan itu sendiri. Dalam diskusi ini perspektif Hukum Buddhis akan berupaya menelaah secara obyektif sumber kekerasan pada umumnya termasuk juga yang dilakukan oleh umat Buddha sendiri dan selanjutnya menginformasikan tentang langkah-langkah preventifnya.
Prevensi Terorisme
Pada bagian terdahulu sudah disinggung secara singkat bahwa kefanatikan agama menciptakan keinginan untuk melakukan serangan teror. Hasil analisis seperti itu sesungguhnya belum dapat diterima sepenuhnya. Oleh karena itu dibutuhkan penelusuran yang lebih dalam lagi untuk memastikan penyebab atau akar terorisme. Hal ini berkaitan dengan fakta dalam masyarakat tentang banyaknya pemeluk agama yang sedemikian fanatik dalam pengertian selalu mendasarkan pikiran, ucapan dan perilakunya pada kebenaran umum agama, akan tetapi tidak memilih terorisme sebagai metode untuk menciptakan perubahan atau mencapai kondisi yang lebih baik.
Sejauh fanatisme yang juga berarti berkeyakinan yang kuat itu tidak dilakukan secara  berlebihan, destruktif, merugikan apalagi sampai menyerang keyakinan pemeluk agama lain, maka apa yang disebut dengan fanatisme tersebut tidaklah merupakan perilaku yang membahayakan. Bahkan dapat dikemukakan agama-agama besar dunia justru menempatkan konsep yang berintikan kesetiaan pada keyakinan sebagai kewajiban pokok dalam kehidupan beragama. Setiap agama mewajibkan pemeluknya untuk memiliki keyakinan atau saddha aatu sradha aatu credo.
Sebaliknya jikalau tidak memiliki keyakinan yang benar terlebih-lebih lagi terhadap yang suka mencampuradukkan ajaran agama yang satu dengan yang lain atau bahkan dengan politik, dll. maka yang bersangkutan dapat dikartegorikan dengan status keagamaan yang diragukan. Pemaparan yang ringkas tersebut semakin memperkuat pemahaman bahwa fanatisme an sich sesungguhnya tidaklah cukup untuk membuat seseorang, kelompok atau organisasi bahkan negara menjadi teroris.
Demikian juga apabila dikemukakan bahwa kemiskinan merupakan penyebab terorisme sebagai pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia, menimbulkan pembunuhan (massal) terhadap orang-orang yang tidak bersalah serta mengakibatkan kekacauan sosial itu. Tanpa mengabaikan dalil kriminologis tentang kemiskinan yang juga berperan sebagai katalisator timbulnya kejahatan, kemiskinan bukanlah faktor utama dan satu-satunya penyebab terorisme. Di samping karena banyak orang miskin yang tidak mengambil jalan kekerasan (terorisme) untuk meningkatkan taraf hidupnya, ternyata terorisme pada dasarnya juga dilakukan oleh yang berkecukupan dalam hal materi.
Seorang guru Zen Buddhism yang bernama Thich Nhat Hanh sebagaimana dikutip Arvind Kumar Singh mengemukakan, akar terorisme adalah kesalahpahaman, intoleransi, kebencian, dendam dan putus asa. Kelima faktor tersebut dapat menyerang dan menguasai setiap makhluk tanpa memandang status sosialnya. Perbedaannya, para bijaksana dapat mengendalikan faktor-faktor tersebut, sementara yang terlena akan terhanyut dibawa arus yang bermuara pada penderitaan.
Ajaran Buddha atau Buddhisme menjelaskan perihal kesalahpahaman, intoleransi, kebencian, dendam dan putus asa tersebut dengan konsep tiga akar kejahatan, Konsep Brahmavihara dan Virya. Konsep Tiga Akar Kejahatan bahwa kebodohan atau kegelapan batin (avijja) termasuk juga kesalahpahaman dalam arti memahami secara salah (Moha), keserakahan, kerakusan (Lobha) dan kemarahan serta kebencian termasuk dendam (Dosa) merupakan sumber segala kejahatan.
Konsep Brahmavihara yang terdiri dari Metta (cinta kasih), Karuna (kasih sayang), Mudita (empati) dan Upekkha (keseimbangan batin), terutama pada unsur Mudita yang berarti memiliki sikap empati yang dapat menumbuhkan toleransi, pada dasarnya merupakan konsep yang sangat dibutuhkan untuk mengendalikan emosi sosial dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara serta pergaulan internasional yang semakin majemuk. Sementara itu Konsep Virya atau etos kerja penuh semangat merupakan penawar atas keputusasaan di tengah-tengah kehidupan yang penuh dengan persaingan baik dalam lapangan ekonomi maupun politik.
Terorisme yang berintikan kekerasan dengan latar belakang kesalahpahaman, intoleransi, kebencian, dendam dan putus asa tersebut pada dasarnya merupakan suatu fenomena yang dapat dicegah. Perspektif Hukum Buddhis menaruh harapan yang besar dapat mencegah aksi yang dapat menghilangkan nyawa banyak orang dan kerugian harta benda serta fasilitas-fasilitas keagamaan, dan yang terpenting memiliki dasar-dasar yang relevan dengan maksud tersebut.
Dasar-dasar Hukum Buddhis tertuang dalam konsep Pancha Sila atau biasa ditulis Pancasila Buddhis yang merupakan bagian dari Vinaya. Dalam bahasa Pali, bahasa yang dipergunakan oleh Sang Buddha, Panca berarti lima, Sila artinya moralitas-kemoralan. Pancasila adalah lima ajaran mengenai moralitas untuk TIDAK: (1) membunuh (panatipata), mencuri-mengambil barang yang tidak diberikan (adinnadana), melakukan perbuatan asusila (kamesu-micchacara), berbohong (musavada), kehilangan kesadaran karena minuman keras dan sejenisnya (sura-meraya-majja-pamadatthana).
Sila merupakan sarana yang digunakan untuk dapat mempunyai sikap atau perilaku atau tindakan yang baik, yang murni atau yang tidak tercela. Dengan kata lain... sila juga sebagai alat pengendali agar terhindar dari perbuatan dan ucapan yang tidak terpuji. Sila berada pada posisi kedua dalam tiga landasan perbuatan berjasa (punna-kiriya-vatthu) yang terdiri dari : dana – memberi (dana), sila-moralitas (sila) dan pengembangan mental (bhavana). Disimak dari fungsinya, sila juga mempunyai misi penghindaran atau yang disebut dengan virati.
Aturan-aturan kemoralan yang tertuang dalam Pancasila Buddhis sesungguhnya merupakan pantangan (abstinence) dalam pengertian setiap orang yang mengikuti ajaran Buddha memiliki pantangan untuk melakukan pembunuhan termasuk berbagai bentuk kekerasan dan dengan demikian terkandung pula makna bahwa yang telah berpantang itu secara langsung berarti telah menghindarkan dirinya sendiri dari perbuatan yang melanggar.
Dari uraian singkat mengenai Pancasila Buddhis sebagai aturan kemoralan tampak Hukum Buddhis sangat menghargai kehidupan semua makhluk apalagi manusia. Penghargaan tersebut  direalisasikan dalam bentuk penempatan virati –upaya berpantang melakukan perbuatan yang dapat mengakibatkan hilangnya nyawa dan berbagai bentuk kekerasan lain (panatipata) sebagai sebuah prioritas moral. Virati ini juga  merupakan bentuk penghormatan terhadap hak asasi manusia yang paling mendasar.
Hukum Buddhis bertujuan untuk menghindarkan penderitaan (Dukkha) dan meningkatkan derajat kemanusiaan dengan jalan memahami perihal timbul dan lenyapnya penderitaan serta tanpa merendahkan derajat itu sendiri apalagi sampai mengingkari, mengurangi atau bahkan menghilangkannya. Tidak ada rekomendasi untuk melakukan semacam perang kesetiaan atau setidak-tidaknya counter attack terhadap pihak yang ditengarai sebagai penyebab penderitaan. Di samping itu Dhamma (Hukum Kebaikan dan Kebenaran) juga tidak mengandung doktrin perihal mengorbankan diri dengan dalih penegakan hukum.
Sampai pada aspek tersebut tampak prinsip Hukum Buddhis sudah sejak awal menyimpang dari sejarah perkembangan prinsip hukum umum. Richard Thurnwald  pada pokoknya mengemukakan, matriks dalam pengertian rangkaian kondisi yang mendukung seluruh sistem hukum adalah balas dendam (it is often said that the matrix of all law is the blood-feud). Beranjak dari pandangan itu dapat dikemukakan, Hukum Buddhis merupakan anomali sejarah hukum karena tidak memiliki doktrin mengenai pembalasan dendam.
Dalam kaitan ini terdapat dua doktrin penting yang dibabarkan dalam Dhamma; pertama,  doktrin mengenai perenungan hubungan kamma dan kehidupan (abhinhapaccavekkhana patha) bahwa setiap orang memiliki karmanya sendiri yang tidak dapat dialihkan dan diterima kepada serta dari orang lain. Setiap orang akan menerima jatah karmanya masing-masing. Doktrin kedua tentang kebahagiaan (Sukha) orang yang dapat mengatasi baik rasa menang maupun kalah. Menurut doktrin ini, kemenangan dan kekalahan sama-sama memberikan posisi yang kurang mendukung peningkatan spiritual.
Doktrin tersebut pada pokoknya memberikan pelajaran bahwa karma kekerasan akan memanen kekerasan juga. Dalam bahasa yang sangat familiar YM Dalai Lama mengemukakan, human conflicts do not arise out of the blue.  They occur as a result of causes and conditions, many of which are within the protagonists control. Violence undoubtedly breeds more violence.
 Intinya, penggunaan kekerasan itu menyerupai pola persaingan yang tidak sehat (free fight) dengan agenda tunggal mengalahkan atau bahkan meniadakan (exclusionary practices) yang lain. Berdasarkan doktrin-doktrin tersebut pada satu sisi umat dibimbing untuk menghindari kekerasan yang menurut doktrin tadi berarti dengan sendiri terhindar dari kekarasan, dan pada sisi lain untuk tidak takut pada menghadapi terorisme. Berdasarkan keyakinan (saddha) atas Dhamma; tidak akan pernah terjadi penerimaan atas hasil perbuatan (kamma) yang tidak pernah dilakukannya. Sepanjang tidak pernah meneror orang lain, maka ketakutan akan diteror merupakan sikap yang tidak beralasan.
Kekerasan terlebih-lebih yang mengakibatkan hilangnya nyawa merupakan praktek yang sangat dihindari dan harus dicegah agar tidak sampai muncul dalam bentuk pikiran, ucapan dan tindakan. Hukum Buddhis (Dhamma) sebagai hukum kebaikan dan kebenaran memiliki komitmen yang tinggi dan mempunyai resep  atau metode dalam rangka prevensi terhadap terorisme atau kekerasan yang bermotiv agama yang berkembang akhir-akhir ini.
Metode yang ditawarkan oleh Dhamma sesungguhnya memiliki performance-cara kerja yang sederhana. Mencegah tindak kekerasan yang merupakan akar terorisme dilakukan dengan menumbuhkan atau mengembangkan Brahmavihara yang terdiri dari Metta, Karuna, Mudita dan Upekha. Akan tetapi di antara empat sikap luhur yang paling relevan dengan kekerasan an sich diletakkan pada fungsi Metta.
Ada pun yang dimaksud dengan  Metta adalah cinta kasih (loving-kindness) tanpa nafsu yang posesif terhadap semua makhluk secara universal, tanpa sekat-sekat kesukuan, ras, golongan, dan agama. Dalam salah satu Sutta (kotbah) Sang Buddha mengemukakan, metta itu sebagaimana seorang Ibu mempertaruhkan jiwa, melindungi putra tunggalnya. Demikianlah terhadap semua makhluk, kembangkanlah pikiran cinta kasih tanpa batas.
Landasan sutta yang kemudian dikenal dengan konsep Karaniyametta Sutta (Kotbah tentang cinta kasih) itu bertumpu pada doktrin yang tertuang dalam Majjima Nikaya (uraian yang berdurasi menengah) nomor 128 yang pada pokoknya berbunyi: “kebencian tidak akan berakhir apabila dibalas dengan kebencian, akan tetapi kebencian akan berakhir jikalau dibalas dengan cinta kasih”.  
Sejarah keyakinan Buddhis telah mencatat bahwa konsep Metta tersebut cukup berhasil mencegah kekerasan terutama yang terjadi pada zamannya Sang Buddha. Hal ini dapat dibuktikan pertama, ketika harus menyadarkan dan menghentikan tindakan Angulimala yang dipersyaratkan harus memperoleh 1000 (seribu) jari kelingking manusia untuk menyempurnakan kesaktiannya, dan yang kedua mencegah rencana jahat Devadatta, sepupu Sang Buddha sendiri.
Dalam hal pencegahan kekerasan pada dasarnya Sang Buddha selain membabarkan ajaran juga sudah menunjukkan keteladanannya kepada dunia. Bagi umat Buddha keteladanan tersebut diyakini masih memiliki relevansi terutama dengan semakin maraknya kekerasan yang melanda banyak kawasan di berbagai belahan bumi, tak terkecuali di negara-negara Buddhis yang seharusnya merupakan Bumi Cinta Kasih.
Menyadari keampuhan cinta kasih, secara khusus Sangha Theravada Indonesia berkenaan dengan perayaan Hari Trisuci Waisak 2560/2016 baru-baru ini mengusung Cinta Kasih Penjaga Dunia sebagai tema perayaan. Beberapa bulan sebelumnya, pada Maret 2016 Vihara Manggala Giri, menyelenggarakan kegiatan pembacaan Paritta Karaniyametta Sutta (intisari kotbah Buddha mengenai cinta kasih) selama 8 (delapan) kali 24 (dua puluh empat) jam atau 8 (delapan) hari terus-menerus. Kegiatan tersebut bertujuan memberikan suatu kontribusi bagi terciptanya perdamaian dunia....dan ini dikumandangkan dari Desa Alasangker Kabupaten Buleleng, Bali.

Penutup
Terorisme yang bersumber dari kesalahpahaman, intoleransi, dendam dan putus asa dilakukan oleh orang-orang yang menderita karena kebodohan, kebencian serta keserakahan yang seringkali juga dipicu oleh kelaparan, dilakukan dengan cara mengurangi, merampas atau meniadakan sehingga menimbulkan kerugian baik pada fasilitas keagamaan maupun jiwa umat beragama, pada dasarnya dapat dikualifikasikan sebagai kekerasan (terorisme) yang bermotiv agama. Tindak kekerasan menghilangkan hidup termasuk meminta, mengarahkan dan menggerakkan orang lain melakukannya (upakkamo) merupakan pelanggaran Sila sebagai salah satu bentuk ekspresi Hukum Buddhis.
Doktrin Hukum Buddhis memberikan perspektif bahwa keinginan melakukan kekerasan dalam bentuk teror sekali pun sesungguhnya dapat dicegah. Berkenaan dengan upaya tersebut, Hukum Buddhis yang juga tidak lain adalah Dhamma (Ajaran Buddha-Buddhisme) mempergunakan pendekatan Brahmavihara terutama Metta untuk menetralisasikan kekerasan. Dengan pendekatan itu tampak Hukum Buddhis menyediakan upaya mencegah terorisme dengan metode perlakuan terbalik atau yang dapat dikomunikasikan dengan konsep Actio a Contrario.
Mengingat kegiatan teror sekarang ini sudah menyebar secara global dan yang paling mengkhawatirkan adalah terkontaminasinya institusi agama oleh terorisme, maka tidak terlalu berlebihan apabila dikemukakan bahwa pertama-tama institusi agama itu sendiri juga sesungguhnya membutuhkan perlindungan dari infiltrasi terorisme yang bermethamorfose seolah-olah kekerasan juga  merupakan ajaran agama. Dalam mencegah kekerasan, Umat Buddha selain mempertebal Metta, sangat direkomendasikan juga untuk semakin banyak mempraktekkan Hiri (malu melakukan kejahatan) dan Ottapa (takut akan akibatnya). Dalam konteks zaman sekarang ini, Metta, Hiri dan Ottapa adalah penjaga manusia dari kekerasan.
           Terorisme atau bentuk kekerasan lainnya yang sesungguhnya merupakan saluran atau cetusan dari endapan kesalahan cara pandang, kedengkian, kebencian, dendam dan keputusasaan, seringkali pula dipicu oleh perilaku yang disadari atau pun tidak dari subyek yang menjadi korban kekerasan. Oleh karena itu setiap subyek sedapat mungkin hendaknya juga berpantang (virati) melakukan tindakan-tindakan yang dinilai provokatif, yang merangsang perilaku beringas.