Tulisan sederhana ini merupakan sebagian kutipan dari makalah yang berjudul "Pencegahan Terorisme; Perspektif Hukum Buddhis", yang telah disampaikan dalam rangka Diseminasi Pencegahan Terorisme Dari Berbagai Sudut Pandang. Diseminasi diselenggarakan oleh Program Doktor (S3) Ilmu Hukum UNUD pada 03 Agustus 2016.
DASAR
MORAL HUKUM BUDDHIS PENCEGAHAN TERORISME
Terorisme dalam diskusi ini merupakan
suatu obyek dalam pengertian siapa pun dan dikaitkan dengan variabel apa pun,
semua pembicaraan harus mengarah untuk tercegahnya tindakan yang disebut dengan
terorisme. Oleh karena itu pekerjaan terpenting pertama yang harus dilakukan
adalah menemukan pengertian mengenai terorisme agar sasaran dari upaya prevensi menjadi jelas. Namun demikian
mendefinisikan terorisme yang dapat diterima luas oleh semua kalangan tidaklah
mudah lantaran konsep tersebut mengandung dwimakna
(ambiguous) atau berarti ganda – ambigu.
Dikatakan berdwimakna karena pada satu sisi
sehubungan dengan dampak destruktif yang ditimbulkannya baik yang menimpa harta
benda, maupun jiwa dan kemanusiaan, terorisme itu dikutuk, diburu dan
diberantas dengan mengerahkan segala sumber yang tersedia, akan tetapi pada
sisi lain terorisme juga seakan-akan meledek
berbagai upaya cegah-berantas yang
telah dilakukan oleh otoritas keamanan dengan cara hampir selalu berhasil
muncul kembali pada tempat dan kemasan yang baru sembari tetap mempertahankan
spiritnya yang lama.
Prof. Dr.Arvind Kumar Singh mengungkapkan
kondisi tersebut dengan kalimat....that
one’s terrorist is another’s ‘freedom fighter’. For example, those, who are
Palestinians ‘freedom fighters’, are for Israelis ‘terrorists’ to be killed and
exterminated. So also in Kashmir, those who are ‘terrorists’ for India are
glorified as ‘freedom fighters’ by Pakistan. Sudah tentu perbedaan cara
pandang tersebut berlatar belakang pada perbedaan kepentingan antara yang
menekankan keamanan dan kemanusiaan dengan yang ingin mengambil keuntungan di
tengah-tengah ketakutan massa.
Perbedaan yang
tajam tersebut pada akhirnya menimbulkan pengaruh yang tidak menguntungkan
berkenaan dengan upaya merumuskan definisi terorisme. Bahkan masih menurut Arvin Kumar Singh
mendefinisikan terorisme itu sesungguhkan merupakan tugas yang membahayakan (hazardous task), sehingga Tak kurang
Majelis Umum (General Assembly) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tempat
berkumpul dan bekerjanya para delegasi dari berbagai negara itu sendiri sampai
saat ini belum berhasil menemukan definisi terorisme yang dapat diterima secara
luas oleh semua kalangan.
Kevakuman
definisi untuk sementara waktu ini menimbulkan situasi keilmuan yang rada aneh,
dimana konsep (terorisme) yang nantinya menjadi definiendum (obyek yang didefinisikan) itu berhasil diketemukan,
akan tetapi sangat boleh jadi karena ketakutan yang begitu mendalam, lantas
tidak berani memberikan definisi. Namun demikian belasan tahun sebelum Presiden
Joko Widodo menyerukan “Kami Tidak Takut”
terkait ledakan bom di Jl. Thamrin Jakarta beberapa waktu yang lalu, ternyata
ada yang dengan gagah berani memberikan definisi mengenai terorisme.
Sebuah sumber
bahan hukum tersier mengemukakan, terorisme pada pokoknya meliputi penggunaan
kekerasan untuk menakut-nakuti orang-orang pada suatu area sebagai suatu cara
untuk mencoba mencapai tujuan politik.
Amerika Serikat bahkan merinci tindakan tersebut menjadi dua; Terorisme
Internasional dan Terorisme Domestik.
Keduanya dilakukan dengan melibatkan kekerasan atau tindakan yang
membahayakan kehidupan manusia. Termasuk juga yang sangat berani dan
berkepentingan adalah Indonesia yang pada 2002 memberlakukan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme.
Dalam Perpu yang
selanjutnya berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2003
itu ditetapkan menjadi undang-undang terdapat konsep dan definisi mengenai
terorisme yang dituangkan dalam dua pasal lengkap dengan penjelasan
masing-masing. Keberadaan
konsep dan definisi dalam suatu undang-undang sangat penting artinya, karena
dengan konsep dan definisi itulah suatu undang-undang atau pun produk-produk
hukum yang lainnya dapat dioperasionalkan.
Dengan adanya
rumusan definisi terkandung makna bahwa satu persoalan (hukum) sudah dapat
diatasi, akan tetapi ternyata muncul persoalan lain terkait dengan model teror yang dilaksanakan kemudian.
Model yang dimaksud adalah diperkenalkannya
Kekerasan (Terorisme) Bermotiv Agama (religiously motivated violence
(terrorism) yang aktivitasnya menunjukkan peningkatan sejak 1980. Bahkan mantan
Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS), Warren Christopher pada era Bill
Clinton menjadi Presiden mengemukakan, “tindakan teroris yang mengatasnamakan
agama dan atau yang mengusung identitas etnik lainnya telah menjadi salah satu
tantangan keamanan yang paling mengemuka pasca perang dingin”.
Beberapa
analisis menunjukkan bahwa kekerasan bermotiv agama tersebut pada pokoknya
berakar pada fundamentalisme
yang melahirkan fanatisme tingkat tinggi.
Kefanatikan agama menciptakan keinginan untuk melakukan serangan teror
yang dapat menimbulkan jatuhnya korban yang bersifat massal.
Berbagai tindak kekerasan yang dilakukan oleh satu pemeluk agama terhadap fisik
pribadi atau pun sarana-prasarana bahkan ajaran agama yang lain merupakan
contoh-contoh dari kekerasan (terorisme) bermotiv agama atau religion terrorism dengan
fundamentalisme sebagai katalisnya.
Apabila diperbandingkan
antara definisi terorisme yang satu dengan yang lainnya maka tampaklah satu
persamaan yang mendasar. Ada pun persamaan yang dimaksud terletak pada aspek
penggunaan kekerasan. Setiap tindakan teror dapat dipastikan bahwa di dalamnya
terdapat tindak kekerasan yang tidak jarang mengakibatkan hilangnya nyawa
banyak orang. Kekerasan merupakan unsur dan sarana utama dari terorisme yang
pada akhirnya menempatkan terorisme identik dengan kekerasan itu sendiri. Dalam
diskusi ini perspektif Hukum Buddhis akan berupaya menelaah secara obyektif
sumber kekerasan pada umumnya termasuk juga yang dilakukan oleh umat Buddha
sendiri dan selanjutnya menginformasikan tentang langkah-langkah preventifnya.
Prevensi
Terorisme
Pada bagian terdahulu sudah disinggung
secara singkat bahwa kefanatikan agama menciptakan keinginan untuk melakukan
serangan teror. Hasil analisis seperti itu sesungguhnya belum dapat diterima
sepenuhnya. Oleh karena itu dibutuhkan penelusuran yang lebih dalam lagi untuk
memastikan penyebab atau akar terorisme. Hal ini berkaitan dengan fakta dalam
masyarakat tentang banyaknya pemeluk agama yang sedemikian fanatik dalam
pengertian selalu mendasarkan pikiran, ucapan dan perilakunya pada kebenaran
umum agama, akan tetapi tidak memilih terorisme sebagai metode untuk
menciptakan perubahan atau mencapai kondisi yang lebih baik.
Sejauh fanatisme
yang juga berarti berkeyakinan yang kuat itu tidak dilakukan secara berlebihan, destruktif, merugikan apalagi
sampai menyerang keyakinan pemeluk agama lain, maka apa yang disebut dengan
fanatisme tersebut tidaklah merupakan perilaku yang membahayakan. Bahkan dapat
dikemukakan agama-agama besar dunia justru menempatkan konsep yang berintikan
kesetiaan pada keyakinan sebagai kewajiban pokok dalam kehidupan beragama.
Setiap agama mewajibkan pemeluknya untuk memiliki keyakinan atau saddha aatu sradha aatu credo.
Sebaliknya
jikalau tidak memiliki keyakinan yang benar terlebih-lebih lagi terhadap yang
suka mencampuradukkan ajaran agama yang satu dengan yang lain atau bahkan
dengan politik, dll. maka yang bersangkutan dapat dikartegorikan dengan status
keagamaan yang diragukan. Pemaparan yang ringkas tersebut semakin memperkuat
pemahaman bahwa fanatisme an sich sesungguhnya
tidaklah cukup untuk membuat seseorang, kelompok atau organisasi bahkan negara
menjadi teroris.
Demikian juga
apabila dikemukakan bahwa kemiskinan merupakan penyebab terorisme sebagai
pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia, menimbulkan pembunuhan (massal) terhadap
orang-orang yang tidak bersalah serta mengakibatkan kekacauan sosial itu. Tanpa
mengabaikan dalil kriminologis tentang kemiskinan yang juga berperan sebagai
katalisator timbulnya kejahatan, kemiskinan bukanlah faktor utama dan
satu-satunya penyebab terorisme. Di samping karena banyak orang miskin yang
tidak mengambil jalan kekerasan (terorisme) untuk meningkatkan taraf hidupnya,
ternyata terorisme pada dasarnya juga dilakukan oleh yang berkecukupan dalam
hal materi.
Seorang guru Zen
Buddhism yang bernama Thich Nhat Hanh sebagaimana
dikutip Arvind Kumar Singh mengemukakan,
akar terorisme adalah kesalahpahaman, intoleransi, kebencian, dendam dan putus
asa.
Kelima faktor tersebut dapat menyerang dan menguasai setiap makhluk tanpa memandang
status sosialnya. Perbedaannya, para bijaksana dapat mengendalikan
faktor-faktor tersebut, sementara yang terlena akan terhanyut dibawa arus yang
bermuara pada penderitaan.
Ajaran Buddha
atau Buddhisme menjelaskan perihal kesalahpahaman, intoleransi, kebencian,
dendam dan putus asa tersebut dengan konsep
tiga akar kejahatan, Konsep Brahmavihara
dan Virya. Konsep Tiga Akar Kejahatan bahwa kebodohan atau
kegelapan batin (avijja) termasuk juga kesalahpahaman dalam arti memahami secara
salah (Moha), keserakahan, kerakusan
(Lobha) dan kemarahan serta kebencian
termasuk dendam (Dosa) merupakan
sumber segala kejahatan.
Konsep Brahmavihara yang terdiri dari Metta (cinta kasih), Karuna (kasih sayang), Mudita (empati) dan Upekkha (keseimbangan batin), terutama pada unsur Mudita yang berarti memiliki sikap
empati yang dapat menumbuhkan toleransi, pada dasarnya merupakan konsep yang
sangat dibutuhkan untuk mengendalikan emosi sosial dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara serta pergaulan internasional yang
semakin majemuk. Sementara itu Konsep Virya
atau etos kerja penuh semangat merupakan penawar atas keputusasaan di
tengah-tengah kehidupan yang penuh dengan persaingan baik dalam lapangan
ekonomi maupun politik.
Terorisme yang
berintikan kekerasan dengan latar belakang kesalahpahaman, intoleransi,
kebencian, dendam dan putus asa tersebut pada dasarnya merupakan suatu fenomena
yang dapat dicegah. Perspektif Hukum Buddhis menaruh harapan yang besar dapat
mencegah aksi yang dapat menghilangkan nyawa banyak orang dan kerugian harta
benda serta fasilitas-fasilitas keagamaan, dan yang terpenting memiliki
dasar-dasar yang relevan dengan maksud tersebut.
Dasar-dasar
Hukum Buddhis tertuang dalam konsep Pancha
Sila atau biasa ditulis Pancasila
Buddhis yang merupakan bagian dari Vinaya.
Dalam bahasa Pali, bahasa yang dipergunakan oleh Sang Buddha, Panca berarti lima, Sila artinya moralitas-kemoralan. Pancasila adalah lima ajaran
mengenai moralitas untuk TIDAK: (1) membunuh (panatipata), mencuri-mengambil barang yang tidak diberikan (adinnadana), melakukan perbuatan asusila (kamesu-micchacara),
berbohong (musavada), kehilangan
kesadaran karena minuman keras dan sejenisnya (sura-meraya-majja-pamadatthana).
Sila merupakan sarana
yang digunakan untuk dapat mempunyai sikap atau perilaku atau tindakan yang
baik, yang murni atau yang tidak tercela. Dengan kata lain... sila juga sebagai
alat pengendali agar terhindar dari perbuatan dan ucapan yang tidak terpuji.
Sila berada pada posisi kedua dalam tiga landasan perbuatan berjasa (punna-kiriya-vatthu) yang terdiri dari :
dana – memberi (dana), sila-moralitas (sila) dan pengembangan mental (bhavana).
Disimak dari fungsinya, sila juga mempunyai misi penghindaran atau yang disebut
dengan virati.
Aturan-aturan
kemoralan yang tertuang dalam Pancasila Buddhis sesungguhnya merupakan pantangan (abstinence) dalam pengertian
setiap orang yang mengikuti ajaran Buddha memiliki pantangan untuk melakukan
pembunuhan termasuk berbagai bentuk kekerasan dan dengan demikian terkandung
pula makna bahwa yang telah berpantang itu secara langsung berarti telah
menghindarkan dirinya sendiri dari perbuatan yang melanggar.
Dari uraian
singkat mengenai Pancasila Buddhis sebagai aturan kemoralan tampak Hukum Buddhis
sangat menghargai kehidupan semua makhluk apalagi manusia. Penghargaan
tersebut direalisasikan dalam bentuk
penempatan virati –upaya berpantang
melakukan perbuatan yang dapat mengakibatkan hilangnya nyawa dan berbagai
bentuk kekerasan lain (panatipata)
sebagai sebuah prioritas moral. Virati ini
juga merupakan bentuk penghormatan
terhadap hak asasi manusia yang paling mendasar.
Hukum Buddhis bertujuan
untuk menghindarkan penderitaan (Dukkha)
dan meningkatkan derajat kemanusiaan dengan jalan memahami perihal timbul dan
lenyapnya penderitaan serta tanpa merendahkan derajat itu sendiri apalagi
sampai mengingkari, mengurangi atau bahkan menghilangkannya. Tidak ada
rekomendasi untuk melakukan semacam perang
kesetiaan atau setidak-tidaknya counter
attack terhadap pihak yang ditengarai sebagai penyebab penderitaan. Di samping
itu Dhamma (Hukum Kebaikan dan
Kebenaran) juga tidak mengandung doktrin perihal mengorbankan diri dengan dalih penegakan hukum.
Sampai pada
aspek tersebut tampak prinsip Hukum Buddhis sudah sejak awal menyimpang dari
sejarah perkembangan prinsip hukum umum. Richard
Thurnwald pada pokoknya mengemukakan, matriks dalam
pengertian rangkaian kondisi yang mendukung seluruh sistem hukum adalah balas
dendam (it is often said that the matrix
of all law is the blood-feud). Beranjak dari pandangan itu dapat
dikemukakan, Hukum Buddhis merupakan anomali
sejarah hukum karena tidak memiliki doktrin mengenai pembalasan dendam.
Dalam kaitan ini
terdapat dua doktrin penting yang dibabarkan dalam Dhamma; pertama, doktrin
mengenai perenungan hubungan kamma dan
kehidupan (abhinhapaccavekkhana patha) bahwa setiap orang memiliki karmanya sendiri yang tidak dapat dialihkan dan
diterima kepada serta dari orang lain. Setiap orang akan menerima jatah
karmanya masing-masing. Doktrin kedua tentang kebahagiaan (Sukha)
orang yang dapat mengatasi baik rasa menang maupun kalah. Menurut doktrin ini,
kemenangan dan kekalahan sama-sama memberikan posisi yang kurang mendukung
peningkatan spiritual.
Doktrin tersebut
pada pokoknya memberikan pelajaran bahwa karma kekerasan akan memanen kekerasan
juga. Dalam bahasa yang sangat familiar YM
Dalai Lama mengemukakan, human
conflicts do not arise out of the blue.
They occur as a result of causes and conditions, many of which are
within the protagonists control. Violence undoubtedly breeds more violence.
Intinya,
penggunaan kekerasan itu menyerupai pola persaingan yang tidak sehat (free fight) dengan agenda tunggal
mengalahkan atau bahkan meniadakan (exclusionary
practices) yang lain. Berdasarkan
doktrin-doktrin tersebut pada satu sisi umat dibimbing untuk menghindari kekerasan yang menurut
doktrin tadi berarti dengan sendiri terhindar
dari kekarasan, dan pada sisi lain untuk tidak takut pada menghadapi terorisme.
Berdasarkan keyakinan (saddha) atas
Dhamma; tidak akan pernah terjadi penerimaan atas hasil perbuatan (kamma) yang tidak pernah dilakukannya.
Sepanjang tidak pernah meneror orang lain, maka ketakutan akan diteror
merupakan sikap yang tidak beralasan.
Kekerasan
terlebih-lebih yang mengakibatkan hilangnya nyawa merupakan praktek yang sangat
dihindari dan harus dicegah agar tidak sampai muncul dalam bentuk pikiran,
ucapan dan tindakan. Hukum Buddhis (Dhamma)
sebagai hukum kebaikan dan kebenaran memiliki komitmen yang tinggi dan
mempunyai resep atau metode
dalam rangka prevensi terhadap terorisme atau kekerasan yang bermotiv agama
yang berkembang akhir-akhir ini.
Metode yang
ditawarkan oleh Dhamma sesungguhnya
memiliki performance-cara kerja yang
sederhana. Mencegah tindak kekerasan yang merupakan akar terorisme dilakukan
dengan menumbuhkan atau mengembangkan Brahmavihara
yang terdiri dari Metta, Karuna,
Mudita dan Upekha. Akan tetapi di antara empat sikap luhur yang paling
relevan dengan kekerasan an sich diletakkan
pada fungsi Metta.
Ada pun yang
dimaksud dengan Metta adalah cinta kasih (loving-kindness) tanpa nafsu yang
posesif terhadap semua makhluk secara universal, tanpa sekat-sekat kesukuan,
ras, golongan, dan agama. Dalam salah satu Sutta
(kotbah) Sang Buddha mengemukakan, metta
itu sebagaimana seorang Ibu
mempertaruhkan jiwa, melindungi putra tunggalnya. Demikianlah terhadap semua
makhluk, kembangkanlah pikiran cinta kasih tanpa batas.
Landasan sutta yang kemudian dikenal dengan
konsep Karaniyametta Sutta (Kotbah
tentang cinta kasih) itu bertumpu pada doktrin yang tertuang dalam Majjima Nikaya (uraian yang berdurasi
menengah) nomor 128 yang pada pokoknya berbunyi: “kebencian tidak akan berakhir
apabila dibalas dengan kebencian, akan tetapi kebencian akan berakhir jikalau dibalas
dengan cinta kasih”.
Sejarah
keyakinan Buddhis telah mencatat bahwa konsep Metta tersebut cukup berhasil mencegah kekerasan terutama yang
terjadi pada zamannya Sang Buddha. Hal ini dapat dibuktikan pertama, ketika
harus menyadarkan dan menghentikan tindakan Angulimala
yang dipersyaratkan harus memperoleh 1000 (seribu) jari kelingking manusia
untuk menyempurnakan kesaktiannya, dan yang kedua mencegah rencana jahat Devadatta, sepupu Sang Buddha sendiri.
Dalam hal
pencegahan kekerasan pada dasarnya Sang Buddha selain membabarkan ajaran juga
sudah menunjukkan keteladanannya kepada dunia. Bagi umat Buddha keteladanan
tersebut diyakini masih memiliki relevansi terutama dengan semakin maraknya
kekerasan yang melanda banyak kawasan di berbagai belahan bumi, tak terkecuali
di negara-negara Buddhis yang seharusnya merupakan Bumi Cinta Kasih.
Menyadari keampuhan cinta kasih, secara khusus
Sangha Theravada Indonesia berkenaan dengan perayaan Hari Trisuci Waisak
2560/2016 baru-baru ini mengusung Cinta
Kasih Penjaga Dunia sebagai tema perayaan. Beberapa bulan sebelumnya, pada
Maret 2016 Vihara Manggala Giri, menyelenggarakan kegiatan pembacaan Paritta Karaniyametta Sutta (intisari
kotbah Buddha mengenai cinta kasih) selama 8 (delapan) kali 24 (dua puluh
empat) jam atau 8 (delapan) hari terus-menerus. Kegiatan tersebut bertujuan
memberikan suatu kontribusi bagi terciptanya perdamaian dunia....dan ini
dikumandangkan dari Desa Alasangker Kabupaten Buleleng, Bali.
Penutup
Terorisme yang
bersumber dari kesalahpahaman, intoleransi, dendam dan putus asa dilakukan oleh
orang-orang yang menderita karena kebodohan, kebencian serta keserakahan yang
seringkali juga dipicu oleh kelaparan, dilakukan dengan cara mengurangi,
merampas atau meniadakan sehingga menimbulkan kerugian baik pada fasilitas
keagamaan maupun jiwa umat beragama, pada dasarnya dapat dikualifikasikan
sebagai kekerasan (terorisme) yang bermotiv agama. Tindak kekerasan
menghilangkan hidup termasuk meminta, mengarahkan dan menggerakkan orang lain
melakukannya (upakkamo) merupakan
pelanggaran Sila sebagai salah satu
bentuk ekspresi Hukum Buddhis.
Doktrin Hukum
Buddhis memberikan perspektif bahwa keinginan melakukan kekerasan dalam bentuk
teror sekali pun sesungguhnya dapat dicegah. Berkenaan dengan upaya tersebut,
Hukum Buddhis yang juga tidak lain adalah Dhamma
(Ajaran Buddha-Buddhisme) mempergunakan pendekatan Brahmavihara terutama Metta untuk
menetralisasikan kekerasan. Dengan pendekatan itu tampak Hukum Buddhis
menyediakan upaya mencegah terorisme dengan metode perlakuan terbalik atau yang
dapat dikomunikasikan dengan konsep Actio
a Contrario.
Mengingat
kegiatan teror sekarang ini sudah menyebar secara global dan yang paling
mengkhawatirkan adalah terkontaminasinya institusi agama oleh terorisme, maka
tidak terlalu berlebihan apabila dikemukakan bahwa pertama-tama institusi agama
itu sendiri juga sesungguhnya membutuhkan perlindungan dari infiltrasi
terorisme yang bermethamorfose seolah-olah kekerasan juga merupakan ajaran agama. Dalam mencegah
kekerasan, Umat Buddha selain mempertebal Metta,
sangat direkomendasikan juga untuk semakin banyak mempraktekkan Hiri (malu melakukan kejahatan) dan Ottapa (takut akan akibatnya). Dalam
konteks zaman sekarang ini, Metta, Hiri dan
Ottapa adalah penjaga manusia dari
kekerasan.
Terorisme atau bentuk kekerasan lainnya yang sesungguhnya merupakan saluran atau cetusan dari endapan kesalahan cara pandang, kedengkian, kebencian, dendam dan keputusasaan, seringkali pula dipicu oleh perilaku yang disadari atau pun tidak dari subyek yang menjadi korban kekerasan. Oleh karena itu setiap subyek sedapat mungkin hendaknya juga berpantang (virati) melakukan tindakan-tindakan yang dinilai provokatif, yang merangsang perilaku beringas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar